Jakarta, Kabar Selebes — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) bank secara gross meningkat dari 3,13 persen pada Juni menjadi 3,22 persen pada Juli 2020. Sementara NPL net turun tipis dari 1,13 persen menjadi 1,12 persen pada periode yang sama.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan peningkatan NPL menjadi hal yang tidak bisa terelakkan karena bank tengah menjalani program restrukturisasi kredit. Namun, tidak semua kredit bisa diberikan restrukturisasi dan tercatat menjadi NPL.
“Ini situasi yang tidak bisa kita hindari, justru jadi pertanyaan besar kalau NPL tidak meningkat, karena kenyataan di lapangan ini, para pengusaha ini ternyata banyak yang usahanya terhenti,” ujar Wimboh saat konferensi pers virtual, Kamis (27/8). https://tpc.googlesyndication.com/safeframe/1-0-37/html/container.html
Wimboh menilai peningkatan NPL sejatinya belum menjadi ancaman bagi kelanjutan industri bank ke depan. Sebab, masih di bawah batas ketentuan yang berlaku sebesar 5 persen.
“Kalau sudah sampai 5 persen baru bank ini menjadi masuk pengawasan intensif, tapi ini kan masih jauh,” katanya.
Anggota Dewan Komisioner sekaligus Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana menambahkan peningkatan NPL bukan hal yang buruk karena bank memang sengaja menambah cadangan dana mereka untuk mengantisipasi catatan kredit yang terancam macet. Hal ini tercermin dari NPL net yang justru turun tipis.
“NPL net adalah gross yg sudah dikurangi pencadangan dari bank, artinya ketika pandemi saat mereka harus restrukturisasi yang sebetulnya aturan kita bolehkan mereka tidak perlu berikan cadangan dulu, tapi karena ingin tetap lancar, mereka tetap hati-hati dengan bentuk pencadangan,” terang Heru.
Kredit Mulai Tumbuh
Kendati NPL meningkat, namun wasit lembaga jasa keuangan mencatat pertumbuhan penyaluran kredit meningkat dari 1,49 persen pada Juni menjadi 1,53 persen dengan nominal Rp5.536,17 triliun pada Juli 2020. Berdasarkan jenis kredit, Kredit Modal Kerja (KMK) tumbuh 0,86 persen.
Sementara Kredit Investasi (KI) tumbuh 5,92 persen dan Kredit Konsumsi (KK) sebesar 1,45 persen pada bulan lalu. “Pertumbuhan kredit modal kerja turun disebabkan pelunasan kredit dari berbagai debitur besar dan pergerakan kredit sektoral yang diperkirakan mengalami kontraksi,” jelasnya.
Sedangkan dari sisi kategori BUKU, pertumbuhan kredit tertinggi ada di BUKU II sebesar 5,59 persen. Kemudian, diikuti oleh BUKU I 2,62 persen, BUKU IV 2,41 persen, dan BUKU III 1,44 persen.
“Ada beberapa bank mengalami merger, sehingga ini bisa saja terjadi perpindahan. Empat bank pindah dari BUKU I ke BUKU II dan dua bank pindah dari BUKU III ke BUKU IV,” jelasnya.
Dari sisi mata uang, kredit rupiah tumbuh 1,11 persen dan kredit valas 4,02 persen. Dari kategori jenis bank penyaluran, pertumbuhan penyaluran kredit tertinggi berasal dari Bank Pembangunan Daerah (BPD) 8,23 persen dan bank BUMN 3,36 persen.
“Ini karena adanya penempatan dana dari pemerintah,” ungkapnya.
Tercatat, pemerintah memberikan penempatan dana untuk kemudian disulap menjadi penyaluran kredit oleh bank BUMN sebesar Rp30 triliun. Sedangkan ke BPD sebesar Rp11,5 triliun.
Sementara pertumbuhan penyaluran kredit bank swasta sekitar 0,91 persen. Ia menduga hal ini terjadi karena kepercayaan dunia usaha dan masyarakat belum mengindikasikan perbaikan ekonomi dan mempengaruhi bank dalam menyalurkan kredit.
Tak hanya kredit, Dana Pihak Ketiga (DPK) ikut meningkat dari 7,95 persen pada Juni menjadi 8,3 persen pada Juli 2020. Hal ini membuat rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) yang meningkat dari 22,59 persen pada Juni menjadi 23,1 persen pada Juli 2020.
Selain itu, Alat Likuid per Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) sebesar 27,15 persen dan Alat Likuid per Non Core Deposit (AL/NCD) sebesar 128,01 persen. Begitu pula dengan rasio penyaluran kredit dari deposito (Loan to Deposit Ratio/LDR) sebesar 87,76 persen pada Juli 2020. (fma)
Sumber : CNNIndonesia.com