POSO, Kabar Selebes – Program Kementerian Hukum (Kemenkum) untuk melatih Kepala Desa dan Lurah menjadi juru damai di wilayahnya menuai kritik dari praktisi hukum. Pos Bantuan Hukum (Posbakum) Celebes Legal Center (CLC) mempertanyakan arah kebijakan tersebut yang dinilai dapat mengesampingkan peran mediator profesional yang telah bersertifikasi.
Diketahui, program Kemenkumham melalui Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) ini bertujuan menjadikan kepala desa dan lurah sebagai juru damai (peacemaker). Program ini dikukuhkan melalui penandatanganan perjanjian kerja sama antara Kemenkumham, Mahkamah Agung, Kementerian Desa PDTT, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian PPPA di Jakarta pada 5 Juni 2025 lalu.
Pertanyakan Nasib Mediator Profesional
Sekretaris CLC, Ade Albert Adriatico Sinay, yang juga seorang advokat dari PERADI, menilai peran juru damai pada dasarnya adalah sebagai mediator dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan (Alternative Dispute Resolution).
Albert menjelaskan, untuk menjadi seorang mediator profesional, saat ini diwajibkan memiliki sertifikasi dengan gelar C.Med (Certified Mediator), yang syarat utamanya adalah berlatar belakang Sarjana Hukum.
Hal ini memunculkan pertanyaan kritis. “Kalau perannya sudah diberikan kepada pihak lain, yaitu Kepala Desa dan Lurah di seluruh Indonesia, mau dibawa kemana Mediator bersertifikasi?” ujar Albert kepada Kabar Selebes, Selasa (10/6/2025).
Sarankan Kolaborasi, Bukan Ambil Alih
Menurut Albert, idealnya program peacemaker dari Kemenkumham ini berkolaborasi dengan para mediator bersertifikasi yang sudah ada di seluruh Indonesia, bukan mengambil alih peran mereka.
Ia mencontohkan program bantuan hukum bagi masyarakat yang sudah berjalan baik melalui kerja sama antara Kemenkumham dengan lembaga-lembaga bantuan hukum (LBH) terakreditasi di seluruh Indonesia.
“Seharusnya model kerja sama seperti itu yang ditiru, memberdayakan yang sudah ada, bukan menciptakan peran tandingan,” pungkasnya. (*)