PALU, Kabar Selebes – Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu, Prof. Lukman S Thahir, menyatakan bahwa Idul Fitri 1445 Hijriah menjadi momentum yang merekatkan persaudaraan sesama manusia tanpa melihat latar belakang apapun.
“Dengan kembali kepada fitrah, maka sebagai manusia kita harus berhati-hati terhadap tiga hal yang dapat meruntuhkan persaudaraan antar sesama manusia,” kata Profesor Lukman, di Palu, Rabu.
Profesor Lukman bertindak sebagai khatib pada sholat Idul Fitri 1445 Hijriah di Masjid Raya Provinsi Sulawesi Tengah. Guru Besar Filsafat sekaligus Ketua Nahdlatul Ulama Sulteng ini menyampaikan khutbah tentang merawat kefitrahan pasca-Ramadhan.
Profesor Lukman menyampaikan bahwa relasi antar-sesama manusia atau relasi kemanusiaan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu dirawat dan dijaga.
Tiga Hal yang Merusak Persaudaraan
Untuk menjaga relasi antar sesama manusia tersebut, kata dia, maka manusia harus terus menebarkan kasih sayang dan kebaikan kepada siapapun, dengan tetap menjaga tiga hal yang dapat merusak persaudaraan sesama anak bangsa dalam bingkai NKRI.
Tiga hal yang harus diwaspadai oleh manusia dalam kehidupan ini yakni, harta, tahta, dan wanita. Di mana, sebut dia, sesama manusia bisa berantam, berkelahi dan mendiskreditkan nilai-nilai kemanusiaan karena tiga hal tersebut.
“Maka puasa yang telah kita jalani selama sebulan di bulan Ramadhan sesungguhnya menjadi pengendali terhadap tiga hal tersebut. Kita semua telah berpuasa di bulan Ramadhan, itu berarti kita kembali kepada tradisi kenabian, agar supaya kita mendapat anugerah dan rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa,” ujarnya.
Kisah Nabi Adam dan Puasa
Ia mengingatkan tentang kisah Nabi Adam sebagai salah satu nabi yang disayangi oleh Tuhan. Namun, Nabi Adam harus keluar dari surga turun ke muka bumi karena berbuat kesalahan.
“Ketika di bumi, Tuhan memerintahkan kepada Jibril agar menyampaikan kepada Nabi Adam, agar Nabi Adam harus berpuasa. Dengan berpuasa, maka Nabi Adam akan kembali kepada fitrahnya,” sebutnya.
Dengan demikian, puasa menjadi tradisi kenabian yang dapat membentuk kefitrahan sekaligus membentuk karakter manusia dan sebagai pengendali hawa nafsu, yang makna dan subtansinya harus diterapkan oleh manusia dalam kehidupan sosial keagamaan.