PALU, Kabar Selebes – Berdasarkan data Komisi Penanggulangan HIV-AIDS (KPA) Sulawesi Tengah (Sulteng) tahun 2020, penderita HIV (human immunodeficiency virus) sebanyak 2.178 kasus.
Sedangkan yang sudah mencapai fase AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) sebanyak 982 kasus. Dari data itu, di estimasi kasus HIV/AIDS di Sulteng sekitar 4.702 kasus. Berarti kasus yang terungkap mencapai 46,32 persen.
“Dari data itu, Kota Palu masih rangking pertama dan menyumbangkan lebih dari 50 persen jumlah penderita HIV-AIDS yang ada di Sulteng. Menyusul Kabupaten Banggai, Tolitoli, dan Parigi Moutong. Sedangkan yang paling sedikit Kabupaten Banggai Laut. Ini adalah kasus yang terungkap, kalau berdasarkan fenomena gunung es, kemungkinan yang belum terungkap jauh lebih besar,” papar Abdul Hanif, seorang mahasiswa pascasarjana, Selasa (19/10/2021).
Ia mengatakan, perkembangan Kasus HIV (penyebab penyakit AIDS kian mengkhawatirkan. Informasi terbaru, jumlah penderita yang kian meningkat dan umumnya adalah kelompok usia produktif.
“Baru saja saya bincang-bincang dengan teman yang selama ini concern dengan masalah HIV-AIDS, saya dapat info, kalau kelompok usia produktif itu, umumnya adalah teman-teman mahasiswa. Data ini untuk seluruh Sulawesi Tengah, bukan hanya di salah satu kabupaten atau Kota Palu,” katanya.
Menurut Hanif, sapaan akrabnya, bahwa diketahui kelompok usia produktif yang umumnya adalah mahasiswa, setelah dilakukan penelusuran oleh para konselor, yang sebelumnya sudah mendapatkan data awal, tentang orang-orang yang dicurigai mengidap virus yang sampai saat ini, belum ditemukan obatnya tersebut.
“Teman-teman konselor ini, punya berbagai macam cara dan upaya dalam menelusuri orang-orang yang dicurigai ODHA (Orang dengan HIV-AIDS). Setelah mendapatkan data awal, mereka kemudian meminta orang yang dicurigai untuk dilakukan VCT atau voluntary counselling and testing. Dari situlah, mereka menentukan, apakah orang yang dicurigai ini positif atau tidak. Dari VCT itu, ditelusuri riwayatnya, dimana mereka mendapatkan virus itu. Hal ini penting, untuk memotong mata rantai penularan virus,”kata Hanif, yang dalam Tesisnya di Program Pascasarjana Untad, meneliti terkait HIV-AIDS di Kota Palu.
Kelompok usia produktif yang umumnya adalah mahasiswa, sebenarnya bukan termasuk dalam Kelompok Risiko Tinggi (Risti), orang-orang yang dapat tertular atau menularkan virus HIV. Namun karena gaya hidup dan pergaulan, menyebabkan siapa saja tanpa melihat apakah dia Risti atau bukan, bisa saja tertular HIV-AIDS.
“Mahasiswa itu kan usia rentan dan masih labil. Mereka sebenarnya masih harus dalam pengawasan orangtua, tetapi karena umumnya banyak yang jauh dari orangtua, lalu ketemu teman bergaul yang menyebabkan mereka terjerumus ke hal-hal yang dapat membawa mereka tertular HIV. Kasihan, kalau masih muda sudah tertular,” ucapnya.
Saat ini, belum ada obat yang dapat membunuh virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh tersebut. Yang ada, baru obat antiretroviral (ARV), yang sederhananya hanya “membantu” antibodi mempertahankan diri dari serangan virus HIV. Namun bagi ODHA, diharuskan mengonsumsi obat-obatan tersebut seumur hidupnya, namun tidak ada jaminan bahwa virus dalam tubuhnya akan hilang atau mati. (*\nur)
Laporan : Nurlela