BANGGAI, Kabar Selebes – Penggunaan pupuk anorganik atau pupuk kimia adalah hal yang lumrah di kalangan petani Indonesia. Ketergantungan penggunaan pupuk tersebut menyebabkan beberapa petani gagal dan tidak bisa melakukan penanaman kembali di lahan pertanian yang sudah ditaburi pupuk anorganik.
Kepercayaan dalam pemanfataan pupuk anorganik di lahan pertanian pada petani lokal khususnya di wilayah Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah kini sudah menurun. Ratusan petani yang tergabung dalam Kelompok Wanita Tani (KWT) di Kecamatan Batui, Nambo dan Kintom saat ini telah memproduksi pemanfataan alam yang diolah menjadi pupuk organik.
Pemanfataan itu, dilakukan oleh petani usai mengikuti sejumlah program Sekolah Lapang Pertanian (SLP) oleh mitra binaan atau CSR Donggi Senoror LNG. Petani yang bermitra dengan perusahaan tersebut, ada sebanyak 16 KWT yang terbentuk sejak November 2018 dan tersebar di 25 desa pada tiga kecamatan.
Salah satu petani yang tergabung dalam KWT Bilalang mengatakan bahwa dengan mengikuti perkembangan awalnya usaha tani dengan cara lahan berpindah-pindah. Hal itu, disebabkan ketika tanaman panen pada lahan tersebut, maka tahun berikutnya akan menurun. Terutama pada kesuburan tanah.
“Mau tidak mau kita harus tinggalkan penggunaan pupuk anorganik. Karena itu sudah terbukti bisa merusak lingkungan. Sebagian besar lahan pertanian telah berubah menjadi lahan kritis akibat pencemaran pemakaian pupuk anorganik dan pestisida kimia,”kata Yurince Pangen, ketua KWT Bilalang pada 26 Agustus 2019 di lahan tani percobaan di Sisipan, Kecamatan Batui.
Yurince mengatakan bahwa setelah bergabung dan terpilih menjadi ketua KWT Bilalang, ia bisa memahami penggunaan dan pemanfaatan pupuk organik, bahkan saat ini, sejak bergabung sekitar akhir tahun 2018 pihaknya bersama petani lainnya sudah memproduksi pupuk organik dan pestisida organik.
Dampaknya sangat dirasakan oleh petani, dari upah yang dikeluarkan untuk membeli pupuk anorganik dan pestisida kimia. Sementara pupuk organik bisa di produksi dari tumbuh tumbuhan yang ada di sekitar lahan pertanian milik petani lokal, khususnya di wilayah Kecamatan Batui.
Sementara itu, CSR Manager Donggi Senoro LNG Pandit Pranggana menyimpulkan bahwa untuk merubah kesejahteraan petani lokal, harus melepas kepercayaan petani yang sudah turun temururn diterapkan. Yaitu kepercayaan penggunaan pupuk anorganik.
“Dan langkah yang dilakukan mengatasi kekeliruan yang selama ini digunakan oleh petani Indonesia adalah perlu melakukan perbaikan dan pemberlakuan pengelolaan pertanian secara efektif, efesien dan aman lingkungan. Sehingga dengan terbentuknya kelompok petani serta dibekali dengan pengetahuan di SLP, sangat membantu petani agar mandiri dan berdaya saing,”tutur Pandit.
Upaya untuk mempercayakan petani adalah pihak mitra binaan menyediak 15 hektar lahan percobaan. Yang mana lahan tersebut, dimanfaatkan untuk pengelolaan tanaman hortikultura jenis cabai, namun segala hal perawatan menggunakan pupuk organik.
Para petani yang mengikuti SLP, langsung mempraktekkan olahan dari kreatifitas masing masing dalam pembuatan pupuk organik dan pestisida organik. Dan hasilnya sudah dirasakan langsung oleh petani bahkan petani yang sebagian besar anggotanya wanita sudah bisa merasakan perbedaan penggunaan pupuk anorganik dan pupuk organik.
Menariknya, hasil penjualan akhir pasar ke konsumen sudah mencapai 19 ton dengan harga jual kurang lebih 500 juta rupiah sejak tahun 2018 – 2019. Saat ini, lahan pertanian yang sudah terkelola seluas 17 hektar, namun rata rata penghasilannya 2,5 – 3 ton.(Arjan)