Menikah Muda
Sebagai kepala keluarga, bapak selalu mengingatkan kami—masa itu Pak Harto (Presiden Suharto), “Panglima tertinggi bapak, adalah Pak Harto,” kata bapak. Dalam berbagai hal, kami harus patuh dengan pola-pola bapak, prinsip-prinsip bapak. Kami dalam banyak hal, menyerap yang bapak ajarkan.
Di rumah, kehidupan kami demokratis sekali. Kalau ada diantara yang mau menikah, tidak ada arahan khusus dari Bapak. Kami sekeluarga amat menghargai hubungan. Bapak sendiri amat mengedepankan kejujuran dan integritas. “Silakan asal bisa bertanggungjawab,” begitu saja pesan bapak tentang pernikahan.
Kita diberi kebebasan seluas-luasnya dalam memilih pasangan hidup. Kami bebas tapi bertanggungjawab. Kebetulan saya dalam keluarga, kerap mendapat amanah, entah di OSIS, Pramuka, tempat mengaji, dan lain sebagainya. Karena berbagai aktivitas itu, bapak kerap minta pendapat saya.
Sedikit banyaknya, saya menghargai itu. Bagi saya, sosok bapak yang terkesan pendiam, tetapi dari sejumlah hal justru apa yang bapak kemukakan punya efek tersendiri dalam membentuk diri saya. Yang paling mengesankan saya bagi saya, bapak mengedepankan kejujuran dan sikap menghargai orang lain.
Pembawaan beliau, lebih banyak mengalah. Kendati demikian beliau amat menekankan integritas.
(Yanti mengatakan, ia menikah muda. Saat menikah, ia saya masih kuliah, baru berusia 21 tahun. Suaminya, Chairul Subhi lelaki kelahiran Bogor, juga masih kuliah tetapi memiliki bisnis cetakan dan mengelola jasa pembuatan seragam/konfeksi. Yanti sendiri, dikaruniai enam orang anak– dua perempuan dan empat laki-laki: FirliaAmaniSyahiidah, Salman Alfarisi, Sifa Nurrizkia, Sultan Muhammad Erdoghan Abqory, Langit Biru Solahudin dan Bintang Razan Alhanan. Putri sulung Yanti, sudah hampir lulus dari Universitas Indonesia, diploma bidang penyiaran multimedia/broadcasting. Saat ini tengah magang di Kementerian Lingkungan Hidup).
Tak Sekadar Menggalang Dana
Hal mengesankan, tentu pengalaman ketika berkiprah di Dompet Dhuafa (DD). Saya direkrut DD pertama kali sebagai fundraiser di program Tebar Hewan Kurban (THK). Di program itu saya didorong untuk membantu orang lain dalam pengertian menolong orang untuk bisa berkurban. Program yang saya libati menggalang (dana) kurban. Masyarakat senang banget program kurban. DD amat membantu masyarakat ekonomi lemah, terutama di pelosok negeri.
Setelah tidak lagi di DD, karena dulu terbiasa menjadi menjadi fundraiser, pengalaman itu amat melekat. Saya sendiri telah memiliki beberapa usaha, antara lain day care, tempat bermain, mengelola toko baju. Sebagian zakat usaha kami, kami salurkan sendiri. Misalnya, ketika banjir nasional tahun 2012. Apa yang pernah kami serap dari DD, khususnya value-value kemanusiaan, menstimulasi kami untuk terjun langsung. Antara lain ke Babelan, Bekasi. Saya bersama suami terjun ke kawasan banjir itu. Di lapangan kami berkenalan dengan orang-orang dari BASARNAS. Ada juga seorang dokter yang menghubungi saya.
”Mbak, suka menyalurkan bantuan ya. Seperti ke Bekasi…?”
“Iya…”
Dia seorang dokter di RS Pasar Minggu. Saya sendiri belum pernah ke RS Pasar Minggu. Dia saya ajak janjian bertemu di sebuah rest area. Bertemulah kami dengan dokter itu. Belajar dari pengalaman aktif di kemanusiaan itu, selain melibatkan banyak orang, fundraising bukan sekadar menyalurkan bantuan kemanusiaan, tetapi melibatkan orang lain bersama kita di dalamnya.
Baca Selanjutnya >>>> Karja Awal, Tanpa Gaji