PENERAPAN Kurikulum Merdeka membawa perubahan besar dalam sistem pendidikan di Indonesia, dengan tujuan untuk menciptakan pendidikan yang lebih fleksibel, relevan, dan responsif terhadap kebutuhan siswa.
Salah satu inovasi yang diusung oleh kurikulum ini adalah pembelajaran berbasis proyek, yang berfokus pada penghubungan materi pembelajaran dengan dunia nyata, serta melibatkan siswa dalam pemecahan masalah. Di dalam konteks ini, sastra lokal, termasuk cerita rakyat dan teks budaya lainnya, memiliki peran yang sangat penting.
Sastra lokal tidak hanya berfungsi sebagai sarana pembelajaran yang berbasis konteks, tetapi juga sebagai media untuk menanamkan nilai-nilai budaya yang dapat membentuk karakter siswa. Seiring dengan perkembangan pendidikan berbasis Kurikulum Merdeka, sastra lokal memberikan kontribusi signifikan dalam memfasilitasi pembelajaran yang lebih bermakna dan terhubung dengan kehidupan siswa, sebagaimana dijelaskan oleh Ashfarina et al. (2023).
Pembelajaran berbasis sastra lokal memberi kesempatan bagi siswa untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis, kreatif, dan kolaboratif. Hal ini sejalan dengan teori konstruktivisme Piaget dan Vygotsky, yang menekankan pentingnya pengalaman langsung dan konteks dalam pembelajaran. Siswa tidak hanya diajarkan untuk menghafal fakta, tetapi juga untuk memahami nilai-nilai budaya melalui teks sastra lokal. Namun, implementasi sastra lokal dalam Kurikulum Merdeka menghadapi tantangan, seperti keterbatasan sumber daya, kekurangan bahan ajar relevan, dan kurangnya pelatihan bagi guru (Sucipto et al., 2024). Tantangan ini memerlukan dukungan dari pemerintah dan lembaga pendidikan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
Salah satu kendala utama dalam penerapan sastra lokal adalah keterbatasan bahan ajar yang relevan. Sebagian besar karya sastra lokal masih berbentuk lisan, seperti cerita rakyat yang belum terdokumentasi secara formal, sehingga sulit bagi guru untuk menemukan materi yang sesuai dengan kebutuhan kurikulum.
Banyak karya sastra lokal yang juga tidak memiliki panduan pedagogis atau ilustrasi yang menarik untuk digunakan dalam pembelajaran. Herdi et al. (2023) menyatakan bahwa salah satu tantangan besar dalam mengintegrasikan budaya lokal ke dalam pembelajaran adalah kurangnya bahan ajar yang telah terstandarisasi.
Oleh karena itu, dokumentasi dan pengembangan bahan ajar berbasis sastra lokal sangat penting, misalnya dengan menyusun antologi atau mendigitalkan karya-karya sastra lokal yang dapat diakses oleh guru dan siswa. Selain itu, masalah lain yang perlu diatasi adalah kurangnya referensi atau panduan yang membantu guru dalam mengintegrasikan sastra lokal ke dalam pembelajaran. Banyak guru kesulitan menemukan buku atau kajian yang membahas penggunaan sastra lokal dalam pembelajaran secara sistematis. Dalam banyak kasus, mereka harus mencari referensi tambahan secara mandiri, yang memakan waktu dan energi.
Selain tantangan teknis, terdapat pula masalah konseptual dalam penerapan sastra lokal dalam pembelajaran. Siswa masa kini memerlukan pembelajaran yang tidak hanya menekankan hafalan, tetapi juga mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan kreatif. Oleh karena itu, pembelajaran berbasis sastra lokal harus dirancang untuk melibatkan siswa secara aktif dalam proses belajar. Sastra lokal dapat membantu siswa memahami dan menghargai keragaman budaya mereka, serta mengembangkan keterampilan analitis yang diperlukan untuk menghadapi tantangan global. Teori pendidikan berbasis budaya yang dikemukakan oleh Gay (2018) menggarisbawahi pentingnya materi yang mencerminkan nilai-nilai dan pengalaman siswa sebagai bagian dari komunitas budaya mereka. Sastra lokal dapat menjadi medium yang efektif dalam membantu siswa memahami, menghargai, dan menghidupkan budaya mereka.
Strategi pembelajaran berbasis sastra lokal harus memperhatikan prinsip-prinsip Kurikulum Merdeka, salah satunya berorientasi pada konteks lokal. Materi yang terkait dengan budaya dan kehidupan sehari-hari siswa lebih mudah dipahami dan dihargai. Pendekatan Project-Based Learning (PBL) dapat menjadi solusi efektif, di mana siswa mengeksplorasi karya sastra lokal dan mengadaptasinya dalam bentuk modern, seperti drama atau animasi. Pendekatan ini mendorong pembelajaran aktif, kolaboratif, dan kreatif, memperkuat pemahaman sastra lokal, serta mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan kemampuan berkolaborasi. Penggunaan teknologi dalam dokumentasi dan adaptasi multimedia karya sastra lokal juga dapat meningkatkan keterlibatan siswa dalam pembelajaran, seperti yang ditunjukkan oleh Lestari dan Wijaya (2022).
Dengan pembelajaran berbasis sastra lokal yang disusun secara sistematis dan inovatif, guru dapat membantu siswa mengembangkan kemampuan sesuai tuntutan Kurikulum Merdeka. Pendekatan berbasis budaya yang mengutamakan kearifan lokal memberikan pengalaman belajar yang lebih bermakna dan relevan bagi siswa. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah, lembaga pendidikan, dan para guru untuk bekerja sama mengatasi tantangan, seperti kekurangan bahan ajar dan pelatihan guru, agar implementasi sastra lokal lebih efektif. Pengembangan bahan ajar berbasis sastra lokal yang relevan dengan konteks pendidikan dan budaya setempat perlu menjadi prioritas utama. Dengan dukungan yang memadai, sastra lokal dapat menjadi alat efektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan membentuk karakter siswa sesuai tujuan pendidikan di Indonesia.
*Penulis : Sri Widiarti Ali & Nur Qalbi Andini. A – Mahasiswi Pascasarjana Universitas Negeri Gorontalo
* Artikel di Kolom Anda sepenuhnya tanggung jawab penulis