“Bukan sebaliknya, malah memberi endorsemen pada calon tertentu. Cara seperti itu bisa diterjemahkan atau terkesan mendikte dan memperlakukan calon-calon lain tidak setara,” kata Siti.
“Bila pemilu dimaknai sebagai kontestasi antar calon, tak sepatutnya proses ini diintervensi dengan keberpihakan seorang presiden,” kata Siti.
Direktur Populis Centre Usep Saeful Ahyar mengatakan bahwa pernyataan Presiden dalam mendukung seseorang, dalam konteks kepemimpinan yang masih dua tahun lagi, berpotensi membangun perkubuan politik yang kontraproduktif.
“Akhirnya kepemimpinan yang masih dua tahun ini direpotkan oleh orang-orang yang merasa diserang. Itu yang seharusnya (Presiden) netral saja sampai masa jabatan berakhir,” kata Usep kepada BenarNews.
Demi kesinambungan program
Direktur Eksekutif Aljabar Strategic Arifki Chaniago menilai komentar Jokowi wajar karena dia masih merasa berkepentingan dengan penerusnya untuk melanjutkan program kerjanya.
“Ini terkait keberlanjutan programnya yang belum selesai, seperti IKN (Ibu Kota Negara), jalan tol dan lainnya,” kata Arifki kepada BenarNews.
Namun, tambah Arifki, sikap politik Jokowi tersebut menimbulkan gesekan pada partai politik tempat dia bernaung karena merasa tersaingi dalam menentukan capres dan cawapres untuk Pemilu 2024.
“Mengingat Jokowi yang tidak lagi bisa maju di tahun 2024, makanya banyak yang berharap Beliau netral. Tapi karena masih berkepentingan melanjutkan programnya, dia endorse nama tertentu,” kata Arifki.
Menurut Arifki, Jokowi ingin memainkan posisinya sebagai “kingmaker” dengan mendorong orang-orang potensial yang dekat dengan dia, termasuk Prabowo, menang pada pemilihan presiden 2024.
Sementara itu, tokoh muda Nahdlatul Ulama, Khairi Fuady, mengatakan perkataan Jokowi yang menjelaskan ciri-ciri pemimpin peduli rakyat adalah suatu yang wajar.