Tutup
Palu Bangkit

Walhi Sulteng: Pembangunan Tanggul Teluk Palu Wajib Ditolak

×

Walhi Sulteng: Pembangunan Tanggul Teluk Palu Wajib Ditolak

Sebarkan artikel ini

PALU, Kabar Selebes – Meskipun telah mendapatkan penolakan dari sejumlah elemen masyarakat dan warga Kota Palu, pemerintah tetap bersikukuh untuk melanjutkan rencana pembangunan tanggul Teluk Palu.

Sebagaimana diwartakan beberapa media online dan media lokal Sulawesi Tengah, Wakil Menteri PUPR John Wempi didampingi Gubernur Longki Djanggola menyaksikan langsung penghamparan aspal tanda dimulainya serangkaian proyek rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana di Sulawesi Tengah pada Minggu 24 November 2019 di Jalan Malonda Palu Barat.

Advertising
Peta pembangunan tanggul

Seperti diberitakan KabarSelebes.id, Kepala Satuan Tugas Penanganan Bencana PUPR Arie Setiadi Moerwanto menyatakan bahwa proyek pembangunan tanggul pantai Silae, Lere, Besusu Barat dan Talise (Silebeta) yang akan membentang mulai dari ujung Jalan Cumi-cumi hingga kawasan penggaraman sepanjang lebih kurang 7 kilometer ini merupakan bagian dari pekerjaan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana di Sulawesi Tengah.

Menanggapi pernyataan tersebut, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulteng Abdul Haris Lapabira menyatakan bahwa rencana pembangunan tanggul ini wajib untuk ditolak. Pasalnya belum ada kejelasan informasi tentang desain dan tata letak tanggul ini.

“Belum ada informasi yang jelas seperti apa desain tanggul itu. Kalaupun sudah ada desainnya kita belum tahu seperti apa bentuknya. Apakah dia memanjang mengikuti sempadan pantai atau dia membendung lurus membelah Teluk Palu,” ungkap Haris dalam keterangan tertulisnya, Senin.(25/11).

Menurut Haris seharusnya sebelum melanjutkan rencana tersebut, seharusnya pada sebelum merencanakan pembangunannya, terlebih dahulu dilakukan konsultasi publik dan kajian akademik untuk melihat seberapa urgen pembangunan tanggul ini sehingga benar-benar dibutuhkan.

“Apakah tanggul ini benar-benar dibutuhkan dan menjadi satu-satunya solusi mitigasi terhadap bencana tsunami atau ada alternatif upaya lain yang bisa dilakukan,” ujar Haris.

Menurut Haris, proyek yang akan menelan dana senilai Rp250 miliar ini perlu dipertanyakan efektifitasnya. Bila merujuk pada beberapa kajian akademik yang dilakukan para ahli justru menunjukkan fakta kalau struktur geologis di bawah Teluk Palu sangat labil dan rawan terjadinya gempa dengan getaran besar sehingga dikhawatirkan bisa merusak struktur bangunan tanggul tersebut. Dimana sesar Palu Koro membentang memanjang dari arah luar membelah Teluk Palu.

“Seberapa kuat konstruksi tanggul ini akan menahan bila terjadi guncangan besar, apalagi kalau terjadi longsor dan patahan di dalam laut,” kata Haris menjelaskan.

Lagi pula lanjut Haris proyek yang didanai oleh JICA (Japan International Cooperation Agency) dengan skema hutang ini belum memiliki dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Tentu saja proyek ini menyimpan resiko dan dampak lingkungan yang besar di masa yang akan datang.

Terlebih lagi dampak ekonomi dan sosial dan budayanya. Seperti diketahui di sekitar wilayah pesisir Teluk Palu bermukim komunitas nelayan tradisional yang sangat bergantung penghidupannya dari keberlangsungan ekosistem laut dan pesisir teluk palu. Dimana selama ini mereka mengelola Teluk Palu bersandar pada nilai-nilai luhur kearifan tradisional khas komunitas nelayan Teluk Palu.

“Tidak ada jaminan kalau pembangunan tanggul itu berjalan, nelayan teluk palu masih bisa mendapatkan sumber mata pencaharian seperti sebelumnya. Ini juga menjadi sebuah skema penghancuran budaya dan kearifan nelayan tradisional Teluk Palu. Apalagi ini pendanaannya skema hutang, ibarat jatuh tertimpa tangga pula. Kita belum pulih sepenuhnya dari bencana sudah menanggung hutang milyaran rupiah hanya untuk bangun tanggul,” terangnya.

Menutup pernyataannya, Haris menyarankan kepada pemerintah untuk meninjau ulang rencana pembangunan tanggul tersebut. Sebagai alternatifnya ia menawarkan agar wilayah pesisir Teluk Palu dikembangkan ekosistem mangrove yang lebih ramah lingkungan, berkelanjutan dan tidak merampas hak kelola nelayan tradisional beserta kebudayaan dan kearifannya. (*/patar)

Silakan komentar Anda Disini….