PALU, Kabar Selebes – Rapat konsultasi Komisi III DPR RI bersama Mahkamah Agung (MA) , Selasa, 17 April 2018 di Gedung MA Jakarta, memutuskan pencopotan Ketua pengadilan Negeri (PN) Luwuk Ahmad Yani. Komisi III juga mendesak Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menelusuri dan mengungkap aliran dana miliaran untuk membiayai eksekusi lahan Tanjung Sari Kelurahan Keraton Kabupaten Banggai yang diduga diterima Ahmad Yani.
“Kami meminta kepada PPATK untuk menelusuri aliran dana tersebut. Darimana dana itu bisa sampai kepada yang bersangkutan, ” kata Sarifuddin Sudding, Ketua Tim Komisi III DPR RI, saat dihuungi Rabu malam, 18 April 2018.
Menurut Sarifuddin Sudding, dalam rapat konsultasi itu Ketua MA marah besar. “Pak Ketua MA marah sekali, marah besar dengan kejadian itu setelah pemaparan komisi III. Makanya Ketua MA langsung mencopot Ahmad Yani dan dimutasi ke PN Kendari menjadi hakim non Palu. Sedangkan panitera saat eksekusi juga dijatuhi sanksi demosi sebagai staf di PN Maros, ” ujar Sudding.
Sarifuddin Sudding menyatakan, dalam rapat pertemuan itu terungkap bahwa eksekusi lahan di Tanjung Sari pada 19 Maret 2018 lalu terjadi error in object.
Artinya kata Sarifuddin Sudding, apa yang dilakukan Ketua Pengadilan Negeri Luwuk Ahmad Yani melalui paniteranya itu tidak profesional dalam hal melaksanakan tugas berdasarkan data serta dokumen yang diserahkan ke MA.
Menurut Sarifuddin Sudding yang merupakan wakil rakyat asal Daerah Pemilihan Sulawesi Tengah itu, kesimpulan akhirnya adalah pihak MA menonaktifkan Ahmad Yani sebagai Ketua PN Luwuk dan dinonjobkan sebagai hakim non atau tanpa palu.
“Artinya yang bersangkutan untuk sementara tidak bisa lagi mengadili, memeriksa, dan memutuskan suatu perkara. Selain itu yang bersangkutan juga dimutasi ke PN Kendari, Sulawesi Tenggara,” tutur lulusan Magister Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia Makassar, Sulawesi Selatan tahun 2005 itu.
Selain Ketua PN Luwuk, juru sita atau panitera PN Luwuk juga dengan mendapat sanksi berupa mutasi demosi atau dipindahkan dari PN Luwuk.
Meski demikian, dalam rapat itu, Sarifuddin menyampaikan secara tegas bahwa sanksi tersebut tidak setara dengan perbuatan yang dilakukan oleh Ahmad Yani selaku Ketua PN Luwuk terhadap warga korban eksekusi yang telah kehilangan tempat tinggal dan lahannya, dimana itu semua tidak termasuk dalam objek sengketa.
“Saya sampaikan sanksi seperti itu tidaklah setara dengan terampasnya hak milik warga dan rumahnya yang diluluhlantakkan ibaratkan seperti tsunami, ribuan rumah dirobohkan,” katanya.
Untuk itu, pihak Komisi III DPR RI mendorong Komisi Yudisial segera melakukan pemeriksaan terhadap Ketua PN Luwuk dan memberikan sanksi berat berupa pemecatan. “Iya yang bersangkutan harus dipecat!,” katanya.
Ia juga tetap mendorong pihak kepolisian dalam hal ini Badan Reserse Kriminal Polri segera menelusuri adanya dugaan aliran dana kepada Ketua PN Luwuk.
“Karena ada dugaan terjadi penyalahgunaan kewenangan atau jabatan dan itu bisa diproses secara pidana. Begitupula PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) agar menelusuri adanya dugaan aliran dana kepada yang bersangkutan (Ketua PN Luwuk),” tegasnya.
Sarifuddin Sudding juga berharap agar warga Luwuk segera melakukan gugatan derden verzet terhadap pelaksanaan eksekusi tersebut dan dapat dimohonkan putusan uitvoerbaar bij voorraad atau putusan serta merta agar hak-hak masyarakat segera dipulihkan kembali di atas tanah miliknya yang terlanjur dieksekusi. (ptr)