Tutup
Sulawesi Tengah

AMSI Sulteng Kecewa atas Perlakuan Terhadap Jurnalis Pasca Peliputan Peresmian KPN Donggala

×

AMSI Sulteng Kecewa atas Perlakuan Terhadap Jurnalis Pasca Peliputan Peresmian KPN Donggala

Sebarkan artikel ini
Sejumlah wartawan jalan kaki usai liputan dari lokasi KPN Donggala.(Foto: ist)

PALU, Kabar Selebes – Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Sulawesi Tengah (Sulteng), Moh Iqbal Rasyid, mengungkapkan keprihatinannya terhadap insiden yang memaksa empat jurnalis di Sulteng usai meliput kunjungan kerja Wakil Presiden RI KH Ma’ruf Amin di Sulteng pada Rabu, 4 Oktober 2023.

Empat jurnalis itu harus berjalan kaki sejauh kurang lebih 6 kilometer saat kembali dari lokasi KPN di Desa Talaga, Kecamatan Dampelas Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah.

Advertising

Keempat jurnalis yang dimaksud adalah Abdee Mari dari TVOne, Mitha Meinansi dari Metro TV, Lia Abast dari Truestory.id, dan Jumriani dari Hariansulteng.com.

Mereka ikut serta dalam meliput peresmian Kawasan Pangan Nusantara (KPN) di Desa Talaga, Kecamatan Dampelas, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah.

“Dengan mendengar apa yang dialami rekan-rekan kami, saya selaku Ketua AMSI Sulteng merasa sangat prihatin dan kecewa,” ungkap Iqbal pada Kamis (5/10/23).

Pernyataan Iqbal ini muncul sebagai respons atas pengalaman yang dialami oleh para jurnalis dalam meliput kunjungan kerja Wakil Presiden di Donggala.

Muncul kesan bahwa koordinasi di antara penyelenggara acara di lapangan kurang optimal, bahkan tempat khusus untuk jurnalis tidak disediakan di lokasi peliputan.

Iqbal menekankan bahwa jurnalis atau wartawan adalah profesi yang memiliki martabat tinggi. Mereka bekerja sesuai dengan Undang-Undang Pers dan tidak seharusnya diarahkan ke sana-sini untuk mencari tempat sendiri. Perlakuan seperti ini seolah-olah mereka diusir.

Iqbal menilai bahwa hal ini mencerminkan ketidaktepatan koordinasi di antara penyelenggara acara di lapangan, sehingga jurnalis yang sedang meliput merasa terpinggirkan.

Padahal, karya jurnalistik yang dihasilkan oleh jurnalis yang meliput di lapangan memiliki peran kunci dalam menyampaikan informasi kepada publik.

Selain itu, Iqbal juga mencatat adanya kekerasan verbal ketika jurnalis hendak mengambil makan siang. Ia menilai bahwa alasan ketiadaan makan siang untuk jurnalis adalah hal yang dibuat-buat, mengingat semua yang hadir sudah terdaftar dan memiliki kartu identitas resmi dari pihak penyelenggara acara.

“Jika memang tidak ada makan siang untuk jurnalis, hal tersebut dapat dimaklumi. Namun, penyampaian informasinya seharusnya dilakukan dengan bahasa yang lebih sopan, bukan dengan nada keras dan tindakan yang tidak pantas terhadap kotak makanan,” tegas Iqbal.

Yang paling memprihatinkan adalah ketika keempat jurnalis tersebut dipaksa untuk berjalan kaki menaiki tanjakan dan menuruni bukit untuk mencapai area parkir yang telah ditentukan.

Insiden ini terjadi ketika para jurnalis hendak pulang setelah acara selesai.

Setiap tim liputan berusaha mencari transportasi untuk mencapai area parkir yang berjarak sekitar 6 kilometer dari lokasi acara.

Ada yang berhasil mendapatkan kendaraan meskipun dengan kondisi yang sangat penuh, sementara yang lain ditolak oleh pengemudi mobil.

Di tengah situasi tersebut, seorang pengemudi bernama Dani, yang mengemudikan mobil para jurnalis, berinisiatif untuk mengambil mobil dari area parkir dan berencana menjemput mereka di sekitar lokasi acara.

Meskipun dengan alasan ini, petugas yang berjaga di area parkir tidak mengizinkan Dani membawa mobilnya kembali ke area acara, meskipun ia menjelaskan bahwa ia akan menjemput tamu.

“Jika para jurnalis diangkut ke lokasi acara menggunakan truk yang telah disediakan, seharusnya mereka juga diangkut kembali saat pulang. Ini tidak hanya berlaku untuk jurnalis, tetapi juga untuk semua tamu yang hadir. Saya tahu ada beberapa ketua adat yang juga harus berjalan kaki sebelum akhirnya ada yang memberikan tumpangan kepada mereka,” ujar Iqbal.

Iqbal memastikan bahwa apa yang dialami oleh rekan-rekan mereka adalah bentuk penelantaran yang tidak seharusnya terjadi.

Oleh karena itu, ia berharap bahwa dalam kegiatan serupa di masa mendatang, tidak akan ada lagi jurnalis yang mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan.

Abdee Mari, yang juga menjabat sebagai sekretaris AMSI Sulteng, memberikan saran dan koreksi terhadap kejadian tersebut.

Selain merasa kelelahan, ia juga mengaku mengalami kram di betisnya karena harus berjalan cukup jauh.

“Sebagai saran, untuk acara di lokasi KPN di masa depan, harus benar-benar memperhatikan kesejahteraan rekan-rekan media. Sebagai contoh, rekan-rekan jurnalis seharusnya disediakan dengan shuttle bus atau truk untuk memudahkan transportasi dari lokasi yang jauh ke area parkir. Atau jika tidak ada shuttle bus atau truk, setidaknya akses kendaraan harus diizinkan masuk agar kejadian seperti kemarin tidak terulang,” saran Abdee.

Ia juga menilai bahwa koordinasi antara aparat pelaksana acara peresmian KPN dengan Pemerintah Daerah setempat kurang optimal.

Hal ini mengakibatkan banyak wartawan mendapatkan perlakuan buruk, baik dalam hal makanan maupun akses ke tempat acara.

“Dan pelakunya adalah oknum-oknum dari Pemerintah Daerah Donggala. Solusinya ke depan, jika ada kegiatan di KPN Donggala, harus disediakan tempat khusus bagi wartawan agar mereka tidak diusir seolah-olah seperti ‘kambing’,” cetus Abdee.**

Silakan komentar Anda Disini….