BOGOR, Kabar Selebes – Indonesia kini memiliki 1.812 jenis burung atau bertambah menjadi 18 jenis spesis baru dibandingkan tahun 2020. Pemecahan taksonomi menjadi faktor yang menyebabkan penambahan jumlah jenis burung di Indonesia.
Perkembangan pesat teknologi dan peningkatan minat masyarakat terhadap aktivitas pengamatan burung, turut berkontribusi bagi perkembangan dunia ornitologi dan konservasi.
Dimana Laporan hasil pengamatan melalui observatorium sains warga seperti e-Bird berkontribusi terhadap penambahan 16 jenis ke dalam daftar burung yang tercatat di Indonesia.
Satu di antara jenis tersebut yang patut disoroti yaitu petrel irlandia-baru (Pseudobulweria Becki) yang saat ini dikategorikan sebagai jenis Kritis (Critically Endangered/CR) menurut Daftar Merah Jenis Terancam Punah Badan Konservasi Dunia (IUCN Red List of Threatened Species).
Jenis ini terpantau kehadirannya di sekitar Laut Halmahera, dimana sebelumnya diketahui hanya tersebar di Kepulauan Bismarck, Papua Nugini dan Pulau Solomon.
Sementara itu, berdasarkan status keterancamannya, terdapat 179 jenis burung di Indonesia yang masuk ke dalam daftar jenis burung terancam punah secara global.
Ada 31 jenis burung masuk dalam kategori Kritis, satu langkah lagi menuju status kepunahan; 52 jenis dinyatakan Genting (Endangered/EN), dan 96 jenis Rentang terhadap kepunahan (Vulnerable/VU).
“Ini menyiratkan tantangan konservasi bagi keanekaragaman jenis burung di Indonesia semakin meningkat. Kendati upaya konservasi telah banyak dilakukan, sebagian populasi jenis burung tetap mengalami kemerosotan populasi di alam,” kata Achmad Ridha Junaid, Biodiversity Conservation Officer Burung Indonesia di Kota Bogor, melalui siaran persnya, Rabu (28/4/2021).
Ia mengatakan, saat ini, selain deforestasi, perburuan dan penangkapan burung dari alam menjadi faktor utama penyebab penurunan populasi burung.
Dampaknya terlihat pada peningkatan status keterancaman pada sembilan jenis pada tahun ini. Selain jenis-jenis yang mengalami peningkatan kategori keterancaman, ada pula jenis yang mengalami penurunan status keterancaman.
Achmad Ridha Junaid juga menjelaskan, berdasarkan IUCN penurunan kategori keterancaman tidak selalu menandakan terjadi pemulihan populasi suatu jenis di alam.
Dalam beberapa kasus, penambahan informasi dalam penentuan kriteria bisa memicu penurunan status keterancaman, seperti yang terjadi pada kowak jepang, kepudang-sungu kai, dan bangau sandang-lawe.
Berbeda dengan gajahan tahiti (Numenius tahitiensis) yang mengalami penurunan keterancaman karena
intensitas perburuan telah menurun drastis dalam beberapa tahun terakhir, dan terdapat tanda-tanda bahwa populasi jenis tersebut mulai pulih di beberapa bagian wilayah jelajahnya (BirdLife International, 2020b).
“Lain halnya juga dengan kepudang jawa (Oriolus cruentus). Status keterancaman jenis ini diturunkan ke dalam kategori kurang data (Data Deficient/DD) karena minimnya catatan perjumpaan jenis
ini, sehingga dibutuhkan evaluasi yang lebih mendalam lagi terkait status keterancamannya. Kini, kepudang jawa menjadi salah satu jenis burung dengan informasi paling minim di Pulau Jawa,” katanya.
Dia menyebutkan, BirdLife International mencatat, Indonesia merupakan rumah bagi setidaknya 17 persen, jumlah jenis burung yang ada di dunia dan berada di posisi ke-4 dalam kekayaan jenis burung.
“berdasarkan endemisitasnya, Indonesia berada di posisi ke-1 yang memiliki jenis burung endemis terbanyak di dunia, ” terangnya.
Hingga 2021, jumlah jenis burung endemis di Indonesia tercatat sebanyak 532 jenis. Peningkatan catatan jumlah jenis endemis terjadi pada 2020, yakni sebanyak 16 jenis.
Setidaknya tercatat ada tujuh jenis burung baru yang ditemukan di kawasan Wallacea. Sementara itu, sembilan jenis burung lainnya yang bersumber dari pemecahan taksonomi.
Kajian mengenai status jenis burung yang dilakukan Burung Indonesia secara rutin ini diharapkan dapat menjadi acuan mengenai informasi teraktual mengenai keanekaragaman jenis burung di Indonesia.
“Sebagai organisasi yang bergerak dalam pelestarian burung dan habitatnya, harapannya data ini tak hanya menjadi acuan dalam menjalankan program-program pelestarian, tetapi juga menjadi produk pengetahuan yang dapat dirujuk oleh publik secara luas,” pungkas Ridha. (maf/rlm)
Laporan : Mohammad Arief