MERENUNG sesaat, kata Rasulullah, lebih besar nilainya daripada amal-amal kebajikan yang dikerjakan dua jenis makhluk hidup, manusia dan jin. Merenung dalam kosa kata agama disebut tafakur yakni sebuah aktifitas berpikir mengola otak melahirkan sesuatu yang menjadi.
Tafakur adalah terminal pemberhentian sementara. Merenungi ciptaan Allah dalam bentuk manusia papa akan membangkitkan energi kesyukuran kita. Memikirkan bintang kemintang nan luas akan menghapuskan kebesaran rasa sombong kita. Membaca ayat-ayat Allah yang tersurat akan meluruskan niat-niat jahat yang terselip. Semua itu akan bermuara pada sebuah energi kebangkitan, energi untuk melanjutkan perjalanan pulang. Ia bisa berupa sabar yang mengakar, syukur yang berdebur, dan total dalam amal.
Ramadhan adalah moment paling pas (baca – bagus) mengola bathin untuk berdialog tentang kehidupan. Jika seseorang merasa hidupnya tak ada harapan, sebaiknya dia bersegera untuk bertafakur, terutama tentang akhirat. Hal ini menurut Imam Ghazali akan memudahkan hati untuk insaf, semakin teguh keyakinan bahwa akhirat lebih utama dan kekal, serta muncul harapan besar bahwa Allah pasti menolong.
Alangkah meruginya kehidupan dijalankan tanpa ada nilai-nilai yang berguna untuk diri, keluarga dan masyarakat. Sebagi hamba hendaknya kegiatan tafakur menjadi sumber energi yang terbarukan dari jiwa yang bersih
Maka maksimalkan ramadhan ini sebagai jalan baik untuk menata hati, menata jalan kejujuran dan keikhlasan dalam berbuat. Rutinitas sering membunuh dan matinya akal. Sehingga pekerjaan tidak dilaksanakan secara maksimal, asal jadi, jauh dari inovasi. Rutinitas adalah beban bagi mereka yang lalai bersyukur, lalai bertafakur.
Ramadhan adalah sarana terbaik merenungi akan dosa- dosa. Adakah kita bebas dari dosa? Tentu tidak, dosa tak ubahnya seperti tiupan angin di tanah berdebu. Walau wajah kita bersih berseri seri, tetap saja i butiran noda yang melekat saat seseorang bepergian. Yakin saja ada bekas bekas noda yang menempel meski tak berasa
Seorang mukmin saleh mungkin tak akan terpikir akan melakukan dosa besar. Karena hatinya sudah tercelup dengan warna Islam yang teramat pekat. Jangankan terpikir, mendengar sebutan salah satu dosa besar saja, tubuhnya langsung merinding. Dan lidah pun berucap, “Na’udzubillah min dzalik!”
Tapi bagaimana dengan dosa dosa kecil. Karena sedemikian kecilnya, dosa seperti itu menjadi tidak terasa. Terlebih ketika lingkungan yang redup dengan cahaya Ilahi ikut memberikan andil. Dosa menjadi biasa.
Lalu dampak dosa yang kadang remeh dan tidak terasa adalah seseorang akan terus melakukan perbuatan dosa dan maksiat, sehingga ia akan menganggap remeh dosa tersebut. Padahal, dosa yang dianggap remeh itu adalah besar di sisi Allah ta’ala. Misalnya ucapan-ucapan dusta. Awalnya mungkin hanya sekadar canda agar orang lain bisa tertawa. Tapi, ucapan tanpa makna itu akhirnya menjadi biasa. Padahal di antara ciri seorang mukmin selalu menghindar dari perbuatan sia sia , tanpa makna
Jika begitu dosa dan maksiat akan melenyapkan rasa malu. Padahal, malu merupakan tonggak kehidupan hati, pokok dari segala kebaikan. Jika rasa malu hilang, maka lenyaplah kebaikan. Nabi saw. bersabda, “Malu adalah kebaikan seluruhnya.” (HR. Bukhari Muslim)
Perjalanan hidup memang bukan jalan lurus tanpa terpaan debu. Kian cepat kita berjalan, semakin keras butiran debu menerpa. Berhati-hatilah, karena sekecil apa pun debu, ia bisa mengurangi kemampuan melihat. Sehingga tidak lagi jelas, mana nikmat; mana maksiat.
Sungguh! semua kepahitan yang terjadi itu pasti diundang oleh dosa kita sendiri. Maka dari itu haruslah kita berani untuk melihat dosa sendiri, karena jika kita tidak pandai melihat dosa sendiri, maka akan sulit untuk bisa mengeluarkan air mata tobat.
Karakter orang yang bertaubat adalah dirinya tidak melihat kesalahan yang dilakukan orang lain terhadapnya. Dia hanya fokus pada kesalahan yang telah ia lakukan. Dan Ramadhan dihadirkan zat yang maha agung fungsinya adalah upaya permenungan perjalanan hidup seorang hamba. Wallahu Mustaan.(H. Darlis Muhammad)