MOROWALI, Kabar Selebes – Limbah slag atau terak baja merupakan masalah bagi semua industri pengolahan baja khususnya yang berada di Indonesia. Sebab berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 101 tahun 2014, slag yang dihasilkan dari proses produksi baja digolongkan sebagai bahan berbahaya dan beracun (B3).
“Masalah limbah slag ini muncul saat pemerintah mewajibkan bagi perusahaan tambang untuk membangun smelter sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara atau Minerba. Hingga akhir 2018, total jumlah industri tambang di Indonesia yang mengoperasikan smelter sebanyak 27,” kata Senior Vice Presiden Bidang Eksternal PT IMIP Site Morowali Slamet Victor Panggabean, Sabtu, 9 Agustus 2019.
Menurut Slamet, berselang lima tahun kemudian, pemerintah menerbitkan PP Nomor 101 tahun 2014 yang memasukkan limbah slag yang dihasilkan smelter-smelter ini dalam kategori sebagai limbah B3.
Kondisi inilah yang selalu menjadi masalah bagi para pelaku industri baja. Di satu sisi, mereka diminta untuk meningkatkan produksi dan mengembangkan bisnisnya. Namun di sisi lain ada peraturan yang membatasi terkait pengelolaan dan pemanfaatan limbah slag.
“Dalam pertemuan antara Komite Ekonomi dan Industri Nasional bersama kelompok kerja yang beranggotakan sejumlah kementerian terkait seperti kementerian perindustrian, Kementerian Lingkungan Hidup dan kementerian ESDM tanggal 21 Maret 2019, dinyatakan bahwa Indonesia dan Belgia merupakan dua negara di dunia yang masih memasukkan slag sebagai limbah B3. Dalam pertemuan itu, PT IMIP bersama-sama perusahaan pengelola smelter milik pemerintah dan juga swasta lainnya juga ikut hadir,” kata Slamet.
Kata Slamet lagi, slag yang dihasilkan dari pengolahan smelter nikel ataupun tembaga selama ini masih dianggap sebagai limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), sehingga tidak bisa dimanfaatkan. Padahal, jika berkaca dari negara lain, slag bisa dijadikan sebagai bahan baku bangunan, bahan pengerasan jalan, bahkan bisa dijadikan bahan baku pembuatan pupuk tanaman.
“Di negara-negara industri lain semisal Kanada dan Amerika, limbah slag dimanfaatkan sebagai bahan agregat pembangunan jalan karena memiliki daya lekat yang jauh lebih baik dibandingkan batu alam. Sementara di Jepang, limbah slag antara lain dimanfaatkan untuk menghasilkan listrik,” ujarnya.
Menurutnya, pada jurnal tanah dan lingkungan (Vol. 12 No. 1, April 2010:36-41) yang diterbitkan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), menyebutkan bahwa, slag merupakan material yang bermanfaat di bidang pertanian, karena slag dapat digunakan sebagai bahan pengapuran untuk memperbaiki kondisi tanah masam. Pola ini sudah digunakan di Jerman sejak tahun 1937 dan Amerika sejak 1939.
“Selain PP nomor tahun 2014, pengelolaan dan pemanfaatan limbah slag ini juga belum bisa dilakukan karena hingga saat ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) belum mengeluarkan regulasi terkait pengelolaan limbah slag. Hal mendasar inilah yang membuat PT IMIP belum bisa melakukan pengelolaan dan pemanfaatan limbah slag itu secara massif untuk dijadikan bahan yang bernilai ekonomi,” kata Slamet lagi.
Meski demikian, PT IMIP sudah melakukan sejumlah pengelolaan dan pemanfaatan limbah slag. Misalnya untuk pembuatan batako, paving blok dan batu bata yang produknya digunakan untuk kebutuhan bahan baku dalam pembangunan sejumlah fasilitas di dalam kawasan industri yang dikelolanya.
Bahkan, batako beton yang berasal dari pengelolaan dan pemanfaatan limbah slag oleh PT IMIP telah mengantongi sertifikat SNI dan digunakan untuk bangunan perkantoran dan tempat ibadah yang berada di dalam kawasan IMIP. Produk samping dari limbah B3 ini, telah dilakukan pengujian karateristiknya.
Selain itu, pengelolaan dan pemanfaatan limbah slag ini adalah stabilisasi lahan tanah untuk dijadikan sebagai lahan bangunan, baik bangunan kantor ataupun bangunan rumah ibadah. Pemanfaatan lainnya lagi, untuk kebutuhan road base jalan di dalam kawasan, yang juga telah dilakukakan uji CBR.
Di sisi lain, PT IMIP juga secara aktif mengajukan dan mengurus sejumlah perijinan terkait pengelolaan dan pemanfaatan limbah slag ini. Koordinasi, diskusi dan evaluasi terus dilakukan bersama Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Tengah dan Kementerian LH.
Dikutip dari media kontan.co.id edisi 17 Juni 2019, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM, Yunus Saefulhak, menyebutkan bahwa Kementerian Koordinator Perekonomiaan telah mengadakan rapat koordinasi dengan Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian, Kementerian BUMN dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 21 Mei 2019 lalu. Hasilnya, regulasi yang dinilai menghambat akan dievaluasi kembali. Setelah itu, KLHK akan melakukan evaluasi terhadap kategorisasi slag dalam limbah B3, atau akan dipertegas melalui regulasi khusus. Hingga saat ini, pihak PT IMIP masih menunggu realisasi dari hasil pertemuan tersebut.
Slamet berharap, regulasi dari pemerintah bisa segera terbit sehingga pengelolaan dan pemanfaatan limbah slah yang berada di dalam kawasan PT IMIP bisa juga secara massif dilakukan.
“PT IMIP juga mengharapkan peran aktif dari pemerintah dan DPRD Provinsi Sulawesi Tengah, untuk mendorong supaya regulasi dari pemanfaatan limbah tambang atau slag ini dapat segera terealisasi atau diterbitkan pemerintah pusat. Pertimbangan itu tentunya untuk menjaga iklim investasi yang ada di Provinsi Sulawesi Tengah, khususnya di Kabupaten Morowali,” harap Slamet. (*/patar)