PALU, Kabar Selebes – PT Agro Nusa Abadi, perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Morowali Utara, Sulawesi Tengah terus disoroti Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). Konferensi pers kembali mereka gelar di Palu, Sulawesi Tengah. Dari undangan yang disebar ke para jurnalis, topik yang dibicarakan adalah permasalahan lahan PT ANA.
Meskipun perusahaan telah memiliki Hak legal atas pengelolaan lahan berupa Izin Usaha Perkebunan (IUP) namun Walhi bersikukuh perusahaan tersebut ilegal. Sehingga operasional perkebunan sawitnya dipertanyakan. Apalagi ditambah tuduhan bahwa perusahaan merampas lahan masyarakat.
Sayangnya, ketika ditanyakan mengapa Walhi tidak menempuh jalur hukum agar pengadilan yang memutuskan, para aktivis yang mengaku membela kepentingan masyarakat ini lebih gemar melemparkan pernyataan di ruang publik.
“Kalau di Walhi, gugatan pengadilan itu langkah terakhir,” kata Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional Walhi, Uli Arta Siagian, saat konferensi pers menjawab pertanyaan salah seorang wartawan, Sabtu (21/6).
Seperti laporan hasil investigasi independen Econusantara Indonesia (ENS) yang dapat diakses di website Induk perusahan, sejak awal beroperasi, perusahaan perkebunan sawit yang hadir di Sulteng karena tawaran pemerintah daerah untuk berkontribusi membangun wilayah ini sudah serius mengurus sertifikat HGU.
Untuk mengawali usaha perkebunannya, PT ANA mengajukan permohonan izin lokasi seluas 20.000 hektar. Bupati Morowali mengeluarkan izin lokasi untuk keperluan perkebunan kelapa sawit atas nama PT ANA, pada 8 Desember 2006, untuk lahan seluas 19.675 hektar di kecamatan Petasia, dengan masa berlaku selama satu tahun.
Persetujuan IUP untuk budidaya tanaman kelapa sawit dan izin pembukaan lahan atas nama PT ANA diperoleh dari Bupati Morowali pada 27 April 2007.
PT ANA kemudian menunjuk konsultan untuk menyusun dokumen Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai syarat dalam mendapatkan persetujuan kelayakan lingkungan. Dokumen AMDAL untuk Rencana Pembangunan Perkebunan dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit diperoleh PT ANA pada 4 Maret 2008 dari Gubernur Sulawesi Tengah.
Perpanjangan izin lokasi dilakukan perusahaan. Ketentuan lainnya, seperti Izin Usaha Perkebunan (IUP) juga diurus PT ANA, termasuk proses pengurusan HGU. Proses pengurusan HGU mulai diajukan melalui permohonan pengukuran kadasteral pada 12 Juli 2007.
Karena belum bisa memenuhi kriteria clear and clean yang ditandai dengan banyaknya pihak yang mengaku sebagai pemilik lahan, proses perolehan sertivikat itu menghadapi kendala. Berbekal SKT / SKPT, sebagian masyarakat mengaku sebagai pemilik lahan. Sementara, PT ANA juga memiliki dasar kuat atas yang mendukung legalitas operasional mereka.
Kondisi ini dipahami Walhi sebagai konflik agraria. Lembaga ini yakin bahwa masyarakat memiliki legalitas dan menuduh PT ANA merampas hak masyarakat. Kehadiran aparat kepolisian pun dinilai sebagai bentuk perlindungan negara terhadap kepentingan perusahaan.
“Kita punya banyak catatan, pengadilan kadang-kadang sangat tidak adil bagi masyarakat”, ujar Uli melanjutkan alasan di balik langkah-langkah Walhi yang tidak memprioritaskan jalur hukum.
Dari beberapa kali undangan konferensi pers yang menghadirkan wartawan, Walhi lebih suka menyampaikan pandangan-pandangan versi kelompok mereka dan menyebarkan rilis dengan berita yang berisi cara pikir mereka.
Karena itu, meskipun Republik Indonesia menjunjung tinggi hukum, langkah Walhi justru melalui jalur di luar hukum. “Kami mau menarik tanggung jawab negara dulu untuk menyelesaikan ini. Persoalan ini semakin runyam karena negara yaitu pemerintah provinsi atau kabupaten tidak menunjukkan peran penyelesaian itu. Makanya problemnya berlarut-larut,” ujar Uli.(*)