Tutup
Sulawesi Tengah

KPKP-ST Libatkan Perempuan dan Pemuda di Tiga Desa Kabupaten Sigi untuk Cegah Konflik Sosial

24
×

KPKP-ST Libatkan Perempuan dan Pemuda di Tiga Desa Kabupaten Sigi untuk Cegah Konflik Sosial

Sebarkan artikel ini
KPKP-ST melibatkan perempuan dan pemuda di Kabupaten Sigi untuk mencegah konflik sosial melalui edukasi dan penguatan komunitas di tiga desa: Bangga, Rogo, dan Kaleke.

SIGI, Kabar Selebes — Wilayah Sulawesi Tengah, termasuk Kabupaten Sigi, masih dihadapkan pada berbagai tantangan sosial yang berpotensi memicu konflik di masyarakat. Persoalan batas wilayah, perebutan sumber daya alam, serta perbedaan pandangan sosial dan agama menjadi faktor utama pemicu ketegangan antar komunitas.

Meski pemerintah dan masyarakat telah berupaya mencegah dan menyelesaikan konflik, kondisi ini masih terjadi. Kesenjangan informasi serta provokasi pihak-pihak tak bertanggung jawab, terutama terkait masalah perbatasan dan ketidakadilan pengelolaan sumber daya, memperburuk situasi.

Jika tidak ada strategi pencegahan yang sistematis, kondisi ini berisiko mengakar di tingkat komunitas desa dan berpotensi menimbulkan kekerasan yang lebih luas. Para pemangku kepentingan menilai pendekatan keamanan saja tidak cukup untuk menangani konflik sosial dan radikalisme. Diperlukan strategi inklusif berbasis komunitas yang melibatkan pemerintah, tokoh adat, kelompok pemuda, serta perempuan.

Menanggapi kondisi ini, Yayasan Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah (KPKP-ST) melaksanakan kegiatan Women Gathering di tiga desa: Bangga, Rogo (Kecamatan Dolo Selatan), dan Kaleke (Kecamatan Dolo Barat), sebagai bagian dari program Wenexux Perempuan Pembawa Damai dan Tangguh Bencana yang bekerja sama dengan Yayasan Kerti Praja, UNFPA, UN Women, dan KOICA.

Pada 27 dan 30 April 2025, kegiatan ini mengusung tema “Mendorong Mekanisme Pelaporan, Pencegahan, dan Penanganan Konflik Sosial”.

Di Desa Bangga dan Rogo, Direktur Karsa Institute Saiful Tamsil memaparkan materi tentang mengenal konflik sosial. Ia menjelaskan tujuh poin penting, mulai dari definisi konflik menurut Kamus Webster, pandangan psikologis dan sosiologis, perbedaan antara perbedaan, persengketaan, dan konflik, hingga sumber konflik seperti hubungan sosial, psikologi, struktural, kepentingan, dan nilai-nilai adat. Saiful menekankan bahwa perbedaan tidak selalu harus berujung konflik jika segera dicegah dan diselesaikan.

Materi berikutnya disampaikan Sandy, SH dari Walhi Sulawesi Tengah. Ia memaparkan kerangka hukum penanganan konflik sosial melalui UU Nomor 7 Tahun 2012 dan PP Nomor 2 Tahun 2015, termasuk mekanisme pencegahan, penanganan, hingga pemulihan pasca-konflik. Sandy berharap edukasi seperti ini dapat meningkatkan pemahaman dan kesiapsiagaan masyarakat, dengan menekankan pentingnya kolaborasi pemerintah, aparat keamanan, dan masyarakat.

Di Desa Kaleke, kegiatan dibuka oleh Sekretaris Desa, Agung Cahyanto, yang menyampaikan apresiasi terhadap peran aktif pemuda dalam organisasi seperti sanggar seni dan karang taruna. Agung juga menekankan pentingnya Satuan Tugas Perlindungan Perempuan dan Anak (Satgas PPA) yang telah ada sejak 2021, yang menangani kasus kekerasan perempuan dan anak secara cepat melalui edukasi, mediasi, atau langkah hukum.

Narasumber terakhir, Dedi Askary, SH dari Komnas HAM Sulawesi Tengah, membahas pentingnya pencegahan konflik sosial dan strategi rekonsiliasi. Ia mengingatkan bahwa meskipun konflik bisa memicu perubahan sosial positif, dampak negatifnya jauh lebih besar—mulai dari rusaknya hubungan sosial, ketidakstabilan, kerugian materi, hingga korban jiwa.

Melalui edukasi dan penguatan komunitas, KPKP-ST berharap masyarakat desa mampu mendeteksi, melaporkan, dan merespons konflik secara inklusif dan efektif, sehingga potensi kekerasan dapat dicegah sejak dini.**

Silakan komentar Anda Disini….