Tutup
Sulawesi Tengah

Jangan jadikan HGU PT ANA Isu Konfrontasi agar Masyarakat bisa Paksa Panen Sawit

21
×

Jangan jadikan HGU PT ANA Isu Konfrontasi agar Masyarakat bisa Paksa Panen Sawit

Sebarkan artikel ini
Beberapa oknum warga yang mengklaim lahan dan menutup akses jalan agar anggota koperasi tidak masuk kebun dan panen sawit.

MOROWALI UTARA, Kabar Selebes – Polemik terkait PT Agro Nusa Abadi (ANA) terus berlanjut di Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Perusahaan perkebunan kelapa sawit ini kerap menjadi sorotan karena belum memperoleh sertifikat Hak Guna Usaha (HGU). Namun, tren yang menarik perhatian adalah munculnya aksi demonstrasi setiap kali ada penangkapan terhadap pihak yang mengklaim lahan dan memanen buah sawit secara paksa.

Demonstrasi yang dilakukan oleh sejumlah oknum masyarakat ini bahkan berusaha melampaui kewenangan pejabat yang berwenang dengan menuntut agar proses pengurusan HGU PT ANA tidak disetujui. Ironisnya, ketika perusahaan membawa kasus pencurian sawit ini ke ranah hukum, PT ANA justru dituduh melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat.

Pegiat hukum dan pemerhati sosial, Moh Falar Anwar, menegaskan bahwa tindakan memanen buah sawit di lahan perusahaan tanpa izin adalah pelanggaran hukum. Menurutnya, pencurian buah sawit tidak bisa dikategorikan sebagai kriminalisasi terhadap masyarakat, melainkan bagian dari penegakan supremasi hukum.

“Ada dua aspek yang harus dibedakan dalam kasus ini, yaitu klaim kepemilikan tanah dan kepemilikan tanaman. Jangan sampai Hak Guna Usaha (HGU) PT ANA dijadikan isu konfrontasi agar masyarakat bisa masuk dan memanen sawit perusahaan,” ujar Falar, dikutip dari Metrosulteng, Jumat (28/3/2025).

Falar menjelaskan bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, tanah yang ingin didaftarkan harus dibuktikan terlebih dahulu penguasaan dan pemanfaatannya selama 20 tahun.

Ia juga mengibaratkan persoalan ini dengan perbedaan antara Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB). STNK tidak serta-merta menunjukkan kepemilikan kendaraan, sebagaimana Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) yang dikeluarkan desa tidak serta-merta menjadi bukti kepemilikan tanah.

“Sedangkan sertifikat hak alas, yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria, memiliki kedudukan yang lebih kuat. Artinya, masyarakat harus memahami perbedaan antara hak guna usaha, hak guna bangunan, dan sertifikat hak milik,” tambahnya.

Klaimer Bukan Petani Sawit

Falar juga menegaskan bahwa pihak-pihak yang mengklaim lahan dan memanen sawit secara paksa bukanlah petani sawit. Seluruh tanaman sawit yang ada di lahan sengketa tersebut, menurutnya, merupakan hasil pembibitan dan penanaman yang dilakukan PT ANA sebagai perusahaan perkebunan kelapa sawit.

“Tidak ada petani sawit yang dipolisikan PT ANA. Yang dipolisikan adalah mereka yang mengklaim lahan tanpa dasar hukum yang jelas, lalu memanen sawit milik perusahaan,” tegasnya.

Tindakan tersebut, menurut Falar, melanggar Pasal 362 jo 363 KUHP, yang menyatakan bahwa siapapun yang hendak menguasai barang milik orang lain dengan cara melawan hukum dapat dijerat pidana.

“Jika masyarakat merasa berhak atas lahan tersebut, mana bukti dan dasar hukumnya? Jangan hanya menggugat tanah, lalu ikut mengambil buah sawitnya,” kritiknya.

Peran Eva Bande dan Advokasi Masyarakat

Dalam polemik ini, Falar juga menyoroti peran Eva Bande, Ketua Satgas Penyelesaian Konflik Agraria yang sebelumnya mengadvokasi kasus sengketa lahan ini. Menurutnya, advokasi yang dilakukan seharusnya lebih mengedukasi masyarakat agar memahami perbedaan antara perjuangan hukum dan tindakan melawan hukum.

“Perjuangan hak harus dilakukan dengan cara yang benar. Jika hak sudah terbukti, maka seseorang tidak akan dicap sebagai pencuri. Jangan mengambil sawit sebelum hak atas tanah itu terbukti. Edukasi seperti ini yang harus diberikan kepada masyarakat,” ujarnya.

Ia juga kembali menegaskan bahwa masyarakat harus memahami substansi tuntutannya agar tidak tendensius dalam memperjuangkan haknya.

Polda Sulteng Dinilai Bertindak Sesuai Hukum

Sebagai pegiat hukum, Falar menilai langkah Polda Sulawesi Tengah dalam menindak pelaku pencurian sawit sudah sesuai dengan hukum yang berlaku. Ia juga menekankan bahwa permasalahan HGU PT ANA adalah persoalan yang terpisah dan harus diselesaikan melalui mekanisme hukum yang ada.

“Saya tidak mengatakan bahwa PT ANA benar sepenuhnya, karena faktanya mereka belum memiliki HGU. Namun, kita adalah negara hukum, sehingga segala permasalahan harus diselesaikan secara rasional sesuai dengan aturan yang berlaku,” pungkasnya.*

Silakan komentar Anda Disini….