Pengakuan Warga: Dari Hutan Lebat Jadi Sawit
Ismail, seorang warga yang tinggal di dalam kawasan SM Bakiriang, mengungkapkan bahwa sejak 2002 ia bersama 25 petani lain membuka lahan seluas 50 hektare untuk perkebunan sawit. Ia mengaku telah tertipu oleh ketua kelompok petani yang menyerahkan lahan mereka kepada PT KLS tanpa kompensasi yang dijanjikan.
“Kami tidak dapat apa-apa. Kebun yang kami buka justru menjadi milik perusahaan. Hanya ketua kelompok yang menikmati hasilnya,” ujar Ismail yang kini berusia 72 tahun seperti dilansir Metroluwuk.net.
Senada dengan Ismail, Merid Saido juga mengaku mengalami hal yang sama. Hingga kini, mereka tetap tinggal di kawasan konservasi, meskipun BKSDA Sulteng telah meminta mereka untuk keluar dari wilayah tersebut.
Respons Pemerintah Daerah dan Kejati Sulteng
Pemerintah Daerah Banggai menegaskan tidak tinggal diam dalam menangani kasus ini. Salah satu pejabat yang dipanggil oleh Kejati Sulteng menyatakan bahwa pemerintah memiliki dokumen resmi terkait status SM Bakiriang dan tetap berkomitmen menegakkan aturan.
“Kami menghadiri pemanggilan di Kejati Sulteng untuk menunjukkan bahwa kami tidak tinggal diam,” ungkapnya, namun enggan disebutkan Namanya seperti dilansir Metroluwuk.net.
Status kawasan konservasi SM Bakiriang masih diakui berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 398/Kpts-II/1998 dengan luas ±12.500 hektare. Hal ini diperkuat dengan SK Gubernur Sulawesi Tengah Nomor 188.44/3932/DINHUT/89 yang memperluasnya menjadi 3.900 hektare.
Sampai saat ini, status SM Bakiriang tetap sebagai Kawasan Lindung Nasional berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Kejati Sulteng terus mendalami dugaan penyalahgunaan SHGU dan pelanggaran tata ruang di kawasan konservasi ini.
Pemerintah Daerah juga menyoroti keberadaan warga di dalam kawasan konservasi. “Mereka adalah rakyat yang harus dilindungi, namun tetap memiliki risiko hukum,” tutupnya.(*/mtr/abd)