Tutup
Politik

Mutasi Pejabat oleh Petahana Saat Masa Larangan Bisa Berujung Diskualifikasi

285
×

Mutasi Pejabat oleh Petahana Saat Masa Larangan Bisa Berujung Diskualifikasi

Sebarkan artikel ini
Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arif Hidayat(Foto: kumparan)

JAKARTA, Kabar Selebes – Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arif Hidayat menegaskan bahwa mutasi pejabat yang dilakukan oleh calon kepala daerah petahana selama masa larangan merupakan isu yang sangat krusial. Jika terjadi pelanggaran terhadap ketentuan tersebut, konsekuensi terberat yang dapat dihadapi adalah diskualifikasi calon kepala daerah.

“Makanya ini sangat krusial sehingga harus dijawab secara presisi,” ujar Arif Hidayat pada Selasa, 21 Januari 2025.

Pernyataan ini merujuk pada aturan yang melarang kepala daerah petahana melakukan mutasi pejabat dalam waktu tertentu menjelang pelaksanaan pemilu. Menurut Arif, ketepatan waktu dan prosedur dalam mengeluarkan izin mutasi menjadi faktor penting untuk menghindari potensi pelanggaran yang dapat merusak proses demokrasi.

Dalam kesempatan terpisah, Fransiscus Manurung, Kuasa Hukum pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Tengah Ahmad HM Ali-Abdul Karim Al Jufri, menyampaikan bahwa Mahkamah Konstitusi telah banyak mendobrak kebekuan hukum melalui penafsiran baru. Hal ini sejalan dengan tujuan pembentukan MK pada awal reformasi, yaitu menjaga supremasi konstitusi.

“Fungsi ini mengharuskan MK mengawal demokrasi agar sesuai dengan konstitusi. Di dalam konstitusi terdapat spirit perlindungan hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara,” jelas Fransiscus.

Ia menegaskan bahwa jika proses demokrasi melanggar tujuan dan asas hukum, proses tersebut dapat dibatalkan melalui putusan MK.

Fransiscus mencontohkan berbagai putusan MK yang telah membatalkan keputusan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPU) apabila ditemukan pelanggaran konstitusional dalam penyelenggaraan pemilu. Pelanggaran tersebut bisa mencakup tindakan calon kepala daerah, proses pemilihan, hingga pelanggaran asas pemilu sebagaimana diatur dalam UUD 1945.

Sebagai contoh, dalam Putusan MK No. 41/PHPU.D-VI/2008, Mahkamah menyatakan bahwa keputusan hasil proses demokrasi dapat dibatalkan pengadilan jika terdapat pelanggaran terhadap prinsip nomokrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945.

“Demokrasi tidak dapat berjalan hanya berdasarkan kekuatan politik, tetapi juga harus sesuai dengan aturan hukum yang berlaku,” kata Fransiscus.

Ia menambahkan bahwa keputusan yang diperoleh melalui suara terbanyak tetap dapat dibatalkan pengadilan jika pelanggaran terhadap prinsip nomokrasi terbukti secara sah.

Pernyataan Arif Hidayat dan Fransiscus Manurung menyoroti pentingnya pengawasan dan penegakan hukum dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa setiap proses pemilu berjalan sesuai dengan prinsip hukum dan konstitusi, tanpa mengorbankan keadilan dan integritas demokrasi. (*)

Silakan komentar Anda Disini….