PALU, Kabar Selebes – Tumbuh dari keluarga religius dan pengalaman menempuh pendidikan di dua pesantren terkemuka di Indonesia sudah tentu memberikan warna tersendiri di dalam kehidupan dan alam pikiran Muhammad J. Wartabone.
Hal yang sama juga berlaku dengan pengalaman yang ia dapatkan dari jenjang perguruan tinggi, organisasisi sosial-religius, dan kepartaian. Semua pengalaman ini, pada akhirnya, membentuk visi, misi, dan gagasan politik Muhammad J. Wartabone.
Ada dua hal yang senantiasa menjadi perhatian utama dari Muhammad J. Wartabone, yaitu dimensi keumatan dan kebangsaan. Kedua dimensi ini memiliki sumber rujukan yang berbeda. Bila dimensi keumatan didasarkan pada ajaran- ajaran agama, maka dimensi kebangsaan didasarkan pada doktrin nasionalisme.
Dari sumber-sumber bacaan serta pengalamannya berinteraksi, baik sosial maupun politik, Muhammad J. Wartabone menemukan bahwa agama dan nasionalisme tidak selalu berjalan seiring di dalam ritme yang sama. Seringkali, bahkan, ia menemukan kelompok-kelompok masyarakat yang meletakkan keduanya di dalam posisi yang saling berlawanan. Padahal, catatan sejarah telah menunjukkan bahwa nilai-nilai religius merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kelahiran Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sadar akan fakta sejarah di atas, dan didukung oleh perspektif kaidah yurisprudensi peninggalan ulama salaf yang mengedepankan pencarian titik temu dari dua hal yang terkesan berlawanan (al-jam’u wa al-tawfiq), Muhammad J. Wartabone berpandangan bahwa keselarasan antara nilai-nilai di dalam dimensi keumatan dan kebangsaan merupakan satu visi politik dan pemerintahan yang senantiasa ia perjuangkan.
Berbekal wawasan sejarah tentang misi kenabian, Muhammad J. Wartabone menyadari bahwa cakupan umat tidak terbatas pada kelompok masyarakat Muslim semata. Dalam konteks ini, Kota Madinah di masa kepemimpinan Nabi Muhammad saw. merupakan kota yang dihuni oleh masyarakat yang majemuk, yang berasal dari beragam dan suku. Oleh karena itulah, tidak mengherankan bila para ahli di bidang sosial dan kemasyarakatan memuji kondisi Madinah pada masa tersebut sekaligus menetapkan kota ini sebagai contoh ideal bagi bentuk masyarakat berperadaban, yaitu masyarakat sejahtera dengan sistem dan hukum yang dirumuskan berdasarkan kesepakatan bersama serta saling menghargai perbedaan yang ada.
Bila Madinah diposisikan sebagai simbol masyarakat berperadaban, maka Mekah adalah kota yang menjadi titik temu dari beragam etnis di Timur Tengah atas dorongan perdagangan. Pertemuan antar etnis ini merupakan penanda kosmopolitan Mekah dan telah ada sejak era sebelum kelahiran Nabi Muhammad saw. Dalam literatur-literatur para sejarawan, Mekah dan Madinah lazim disebut dengan Haramain.
Khusus terkait wilayah yang ia wakili, Muhammad J. Wartabone menilai bahwa Provinsi Sulawesi Tengah memiliki kesamaan dengan Mekah sebagai kota perlintasan dan pertemuan beragam etnis di Nusantara. Modal masyarakat kosmopolitan ini, dalam pemahamannya, perlu dikembangkan menjadi peradaban yang dominan layaknya masyarakat di Madinah. Oleh sebab itu, Muhammad J. Wartabone meramu gagasan civil society masyarakat Madinah dan menurunkannya ke dalam konsep Serambi Haramain sebagai julukan baru bagi tanah kelahirannya, Provinsi Sulawesi Tengah. Gagasan Serambi Haramain merupakan sintesis dari dua provinsi di Indonesia yang sudah lebih dulu dijuluki dengan Serambi Mekah (Aceh) dan Serambi Madinah (Gorontalo).
Guna mendukung gagasan di atas, selama menjabat sebagai anggota DPRD Kota Palu, Muhammad J. Wartabone aktif dalam mendorong penelitian-penelitian tentang sejarah Islam di Provinsi Sulawesi Tengah dengan melibatkan para pakar dari Universitas Tadulako Palu, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palu, dan Universitas Hasanuddin Makassar. Selain berhasil menyajikan narasi baru, salah satu hasil utama dari penelitian tersebut adalah ditemukannya petunjuk bahwa Islam telah sampai dan menyebar di Sulawesi Tengah sejak abad kedua Hijriah. Kesimpulan ini diambil berdasarkan temuan makam Imam Sya’ban bertarikh 168 H./792 M. yang terletak di Kabupaten Banggai Kepulauan, Lolantang, Pulau Peling, Sulawesi Tengah. Sejalan dengan fakta ini, dalam pandangan Muhammad J. Wartabone, tidak berlebihan bila Provinsi Sulawesi Tengah menasbihkan wilayahnya sebagai Serambi Haramain.
Haramain atau al-Haramayn merupakan sebutan lain bagi dua kota, yaitu Kota Mekah dan Madinah. Bagi Muhammad J. Wartabone, kedua kota ini tidak dapat dipisahkan mengingat, selain merepresentasikan wilayah, Haramain sejatinya merupakan garis waktu yang mensimbolkan perjalanan dari keterbelakangan sosial menuju kondisi masyarakat berperadaban di bawah pemerintahan yang amanah. Provinsi Sulawesi Tengah sebagai Serambi Haramain niscaya dipahami dalam pengertian ini.(adv)