DUA haripasca kepergian wartawan senior yang juga mantan senator M. Ichsan Loulembah, suasana duka masih menyelimuti sejumlah kalangan, termasukkawan-kawan dekat Almarhum Ichan, sapaan akrabnya.
Demikian pula yang dialami Erick Tamalagi, wartawan senior yang kini menjadi Staf Khusus Menteri Pertanian RI.
Berikut catatan Erick Tamalagi yang dikirimkan ke redaksi, Selasa (1/8/2023).
————————–
SULIT bagi saya untuk menggambarkan seperti apa almarhum M Ichsan Loulembah. Almarhum memanggil saya dengan sapaan pace, sebaliknya saya selalu memanggilnya kakak.
Usia kami terpaut tiga tahun, almarhum sejak masih di Palu sudah menjadi figur yang menonjol. Meski demikian tidak pernah ada jarak dalam semua pertemuan kami. Beberapa kali almarhum selalu bilang “jangan bekeng malu, begini begini ngana pe mace dengan kita pe mace itu dekat karena sama-sama guru. Te boleh menyerah, ingat itu, jang bekeng malu torang pe orang tua yang sama sama pendidik.”
Kedekatan saya dengan almarhum justru bermula saat kami sama sama menjadi ketua cabang ; saya di GMKI Cabang Palu, almarhum HMI Cabang Palu. Saat itu kami
berdua menyatakan diri keluar dari KNPI. Saat saya gamang untuk mengambil keputusan keluar dari KNPI, almarhum yang menguatkan.
“Te usah pace pikir reaksi senior senior di Jakarta, kondisi ri pusat dan daerah itu berbeda. Dorang pasti punya kepentingan sendiri, tapi realitas torang di daerah kan berbeda. Adakan idealisme torang disini musti tergadaikan.”
Almarhum menurut saya figur yang tidak pernah lupa dengan daerah asalnya saat memutuskan bertarungbhidup di Jakarta. Almarhum yang banyak mengenalkan berbagai figur yang luar biasa saat saya menjadi jurnalis di TPI. Kami sama-sama menjadi peliput di DPR MPR RI saat reformasi 1998. Hampir setiap malam bersama sejumlah jurnalis lainnya bertemu di Pasir Putih Kemang dengan pegiat reformasi ; mulai dari politisi partai sampai aktivis mahasiswa dari berbagai elemen. Almarhum selalu hadir dengan gagasan brilyan.
“Pace, jangan cuma mahasiswa di Jakarta yang masuk TV (ketika itu kami sedang menyiarkan Dialog Partai Partai) coba undang dari luar Jakarta yang penting kredibilitasnya terjaga. Pace kan dekat anak anak di Salatiga. Begitu begitu dari Salatiga banyak lahir tokoh tokoh kritis, coba undang dorang, paling kita bayarkan tiket keretanya.” Inilah yang kemudian memberi warna tersendiri program kami waktu itu.
Bahkan sampai saat saya menjadi salah satu staf khusus Menteri Pertanian, almarhum tetap ‘menjaga’ saya dengan caranya.
“Pace, bosmu itu pekerja keras. Pasti tidak semua orang bisa terima dengan caranya, pasti banyak orang yang terganggu zona nyamannya. Ngana musti bisa jaga itu. Banyak anak anak muda yang bisa pace dorong untuk jadi ‘mulut’ kementrian, jangan ngoni yang muncul.”
Salah satu yang dikenalkan almarhum adalah Prima Gandhi, doktor alumni IPB yang juga alumni HMI dan saat ini meneruskan studinya di Jepang. Gandhi kemudian banyak menulis tentang kebijakan Kementrian Pertanian yang sering dipertanyakan berbagai pihak. Gandhi yang saya hubungi melalui WA beberapa jam setelah pemakaman almarhum di Tanah Kusir ternyata sudah mendapat kabar kepergian almarhum karena beredar disejumlah grup WA.
Almarhum bukan saja menjaga saya, tapi hampir semua anak Palu yang ada di Jabodetabek. Wisma Haroen di kawasan Pasar Minggu adalah saksinya. Tidak terhitung berapa banyak masalah yang tumpah dan diselesaikan di lantai rua atau lantai tiga gedung ini ; dari masalah pribadi, rumah tangga sampai urusan mo bakalae dengan orang lain. Tempat ini menjadi tempat berkumpul kami selama beberapa tahun ; proses kreatif dan menghidupkan banyak orang (termasuk saya) dilakukan melalui PT Rana Indah Cemerlang dan PT Spekta Global.
Almarhum sampai akhir hayatnya seperti tidak bisa lepas dari dunia jurnalistik. Suatu saat awal tahun lalu 2022, mungkin bulan April atau Mei, almarhum meminta saya untuk membaca berita berita dari Koridor, media online yang dibuatnya.
“Jadi pace ini media sesuatu lah. Pemberitaannya kritis tapi tidak boleh menghujat, boleh mengapreseasi tapi tidak menjilat. Pace pasti kenal Herry Gunawan mantan Tempo kan ? nah dia salah satu di Koridor. Pokoknya Koridor ini pasti beda, namanya saja Koridor, ini media yang menjaga karya jurnalistik tetap di koridor yang sebenarnya sesuai dengan etika jurnalistik.”
Almarhum memang idealis, hampir tidak pernah marah dan bisa berdamai dengan apa saja. Tapi ada saatnya almarhum juga bisa sangat tegas. Misalnya sewaktu saya pulang dari Surabaya dan bercerita tentang sesuatu dari perjalanan jurnalistik di kota itu. Ternyata cerita itu mendalam buat almarhum karena beberapa hari kemudian saya diminta ke Pasar Minggu.
“Rik (kalau almarhum menyapa dengan nama bukan seperti biasa : pace, maka ini serius punya), kau bale ulang ke Surabaya, minta ijinlah dua tiga hari. Kau bale ulang kesana, bikin videonya. Pasti kau bisa ambil diam diam, ini tidak bisa dibiarkan. Saya yang biayai semuanya, yang penting pulang dengan selamat dengan rekaman gambarnya.”
Banyak hal yang terekam dengan jelas selama dua hari setelah kepergian almarhum, mulai dari julukan three musketeers di DPD RI (bersama GKR Hemas dan almarhum Bambang Soeroso) karena perjuangan mengamandemen UUD 45 soal kedudukan DPD RI ; kegelisahan melihat banyak konten di media sosial yang menjurus kearah timbulnya perpecahan dan tidak bisa dipertangungjawabkan sehingga bersepakat bersama sejumlah jurnalis senior seperti Haris Djauhari, Nugroho F Yudho, Saefurrahman, Gilang, Flory Shanti, Chandra Nazirun dan banyak lagi nama lain melahirkan Aliansi Jurnalis Video 2 Februari 2020.
Selamat jalan Kak Ichan, terlalu banyak kenangan yang terus berputar di kepala ini karena kakanda memang salah satu mentor saya dalam bertarung hidup di Jakarta..
- – Erick Tamalagi –