Banggai Perlu Lakukan Pemetaan Pangan Lokal untuk Intervensi Stunting
Kegagalan cetak sawah atau food estate di beberapa wilayah, harusnya menjadi pelajaran bagi pemerintah daerah. Sesuai dengan pendapat Mustafa, food estate belum tentu mampu menghasilkan pangan, tetapi sudah pasti membawa kerusakan lingkungan. Tak ada cara lain, selain kembali pada pangan lokal yang kaya nutrisi dan sehat untuk dikonsumsi.
Pemerintah Kabupaten Banggai berupaya menekan tengkes (bahasa daerah) atau stunting hingga menyentuh 14 persen pada tahun 2024 mendatang.
Tahun 2022, bedasarkan data SSGI turun 1,7 persen. 2023 di angka 24 persen
Sejak beberapa tahun terakhir upaya Pemda Banggai untuk mengintervensi stunting terusdilakukan, mulai dari program 1.000 hari pertama kelahiran hingga pembangunan jambandi desa-desa.
Namun, dari sisi pangan belum diintervensi secara maksimal dan kolaboratif oleh organisasi perangkat daerah di lingkungan pemerintahKabupaten Bangggai.
Hal ini diakui Kepala Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kabupaten Banggai Anang S.Otoluwa. Ia, mengungkapkan, dalam percepatan penurunan stunting terdapat 5 pilar yang mesti dilakukan, sebagaimana Perpres Nomor 72Tahun 2021.
Pertama, komitmen dan visi kepemimpinan nasional dan daerah; kedua komunikasi perubahan perilaku dan pemberdayaan masyarakat; ketiga konvergensi intervensi spesifik dan sensitif di pusat dan daerah; keempat ketahanan pangan dan gizi, kelimapenguatan dan pengembangan sistem, data, informasi, riset, dan inovasi.
Anang mengusulkan perlunya dilakukan identifikasi pangan lokal yang bisa dikembangkan di Kabupaten Banggai.
“Nanti kita petakan sumber karbohidrat, mulai dari beras, sagu, umbi-umbian, dan pisang. Nanti kita lihat di Kabupaten Banggai kebutuhan karbohidrat terpenuhi atau tidak,” jelas dia pada Senin, 6 Maret 2023.
“Kalau misalnya terpenuhi dari produk beras, maka potensi sagu tadi tidak jadi prioritas sementara ini. Kita cari yang lain,”tuturnya.
Selain sumber pangan untuk karbohidrat, pemetaan juga dilakukan pada makanan yang memiliki protein seperti ikan, ayam, dan daging.
“Misal protein dari ikan, ayam, daging, seberapa besar potensi dan akses masyarakat. Ketiga baru vitamin dan mineral,” tuturnya.
Terkait dengan protein, Desa Jaya Bakti, Kecamatan Pagimana pada 2019 memiliki angka stunting tertinggi di Kabupaten Banggai.
Hasil penelitian Prodi DIII KeperawatanLuwuk, Poltekkes Kemenkes Palu, dan RSUD Luwuk, mengonfirmasi beberapa masalah gizi di Desa Jayabakti yang disurvei oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Banggai.
Tercatat, dari 63 ibu hamil, 13 di antaranyamenderita anemia. Jumlah itu setara dengan20,6persen.
Sementara hasil pemantauan status gizi melalui e-PPGBM tahun 2019, dari 219 balita terdapat 17 atau 7,2 persen menderita gizi buruk dan gizi kurang dan 43 anak atau 19,3 persen diantaranya menderita stunting (Jurnal PengabdianMasyarakat, 2022).
Melihat permasalahan itu, ProdiD-IIIKeperawatan Luwuk, Poltekkes Kemenkes Palu,dan RSUD Luwuk melaksanakan pelatihanpengolahan pangan lokal untuk pencegahanstunting.
Anang, mengakui, Desa Jayabakti menjadi salah satu desa di Kabupaten Banggai yang memiliki masalah stunting cukup tinggi dibandingkan wilayah lain pada 2019.
Menurut Anang, pemetaan pangan lokal diperlukan untuk mendorong agar masyarakat yang lingkungannya memiliki potensi sumber pangan karbohidrat maupun protein mengetahui cara menyajikan yang sesuai standar kesehatan untuk pemenuhan gizi. Luas panen padi pada 2022 mencapai sekitar 169 ribu hektare, mengalami penurunan sebanyak 13 ribu hectare atau 7,24 persen di bandingkan luas panen padi pada tahun 2021 yang sebesar 182 ribu hektare.
Produksi padi pada 2022 yaitu sebesar 745 ribu ton GKG, mengalami penurunan sebanyak 122 ribu ton atau 14,14 persen dibandingkanproduksi padi di 2021 yang sebesar 867 ribu tonGKG.
Produksi beras pada tahun 2022 untukkonsumsi pangan penduduk mencapai 440 ributon, mengalami penurunan sebanyak 72 ribu ton atau 14,14 persen dibandingkan produksi beras di 2021 yang sebesar 512 ribu ton.
Berdasarkan hasil Survei KSA, realisasi luaspanen padi sepanjang Januari hingga Desember2022 mencapai sekitar 169 ribu hektare, atau mengalami penurunan sebesar 13 ribu hektare (7,24 persen) dibandingkan 2021 yang sebesar 182 ribu hektare. Puncak panen padi pada tahun 2022 berbeda dengan tahun 2021, yaitu terjadi pada bulan Mei, sedangkan tahun 2021 pada bulan Oktober.
Luas panen padi pada bulan Mei 2022 adalah sebesar 31 ribu hectare, sedangkan pada Oktober 2021, luas panen padi mencapai 28 ribu hektare.
Sementara itu, luas panen padi pada Januari2023 mencapai 7 ribu hektare, dan potensipanens epanjang Februari hingga April 2023 diperkirakan seluas 47 ribu hektare. Dengan demikian, total luas panen padi pada Subround Januari−April 2023 diperkirakan mencapai 54 ribu hektare, atau mengalami kenaikan sekitar15 ribu hektare (37,57persen) dibandingkan luaspanen padi pada Subround Januari−April 2022yang sebesar 39 ribu hektare.
Produksi padi di Provinsi Sulawesi Tengah sepanjang Januari hingga Desember 2022 mencapai sekitar745 ribu ton GKG, atau mengalami penurunan sebanyak 122 ribu ton GKG (14,14 persen) dibandingkan tahun 2021 yang sebesar 745 ribu ton GKG. Produksi padi tertinggi pada 2022 terjadi pada bulan Mei, yaitu sebesar 131 ribu ton GKG, sementara produksi terendah terjadi pada bulan Agustus, yaitu sekitar 17 ributon GKG.
Sementara tahun 2022, produksi padiKabupaten Banggai juga menurun.Produksi padi2022 sebanyak141.013ton Gabah Kering Giling(GKG),menurun13,93 persen dibandingkan produksitahun 2021.
Cetak sawah baru tidak hanya memberi dampak buruk bagi lingkungan, tetapi juga tercerabutnya budaya kuliner masyarakat. Menggantungkan karbohidrat pada beras bukan sebuah kesalahan, tetapi membuat pangan lokal “hilang” dari pengetahuan generasi setelah ini, sungguh sangat disayangkan.
Beruntung ada Endi dan Zakaria yang bersetia dengan sagu, meski tergerus dan tergeser karena cetak sawah baru. Lewat Endi dan Zakaria—juga petani sagu lainnya—kita masih bisa menyajikan onyop, sinole, dan jepa di menu warung-warung di Luwuk. Pun kita masih bisa mengolahnya sendiri di rumah, meracik bumbu, menyajikan sinole dan ubi rebus sebagai pengganti karbohidrat, serta menyisipkan ikan kadompe untuk kebutuhan protein.
Endi dan Zakaria tak hanya petani sagu, sepasang tangan keduanya juga turut serta menjaga ketahanan pangan dan menjaga budaya melalui pangan lokal.
Liputan ini merupakan Fellowship AJI Indonesia bekerjasama dengan Traction Energy Asia dan Metroluwuk.id