“Kita mau ambil, mulai dari tanam itu 20 tahun baru layak panen. Panen berikutnya itu 6 tahun, karena induknya sebelum besar sudah ada anakan,” paparnya.
Endi mengakui, tingkat konsumsi sagu masyarakat Desa Tangeban masih cukup tinggi. Bahkan saat ini, ia tak lagi mampu memenuhi permintaan.
“Kalau permintaan pembeli, malah kami yang tidak mampu melayani,”ujar Endi di Desa Tangeban, 25 Februari 2023.
“Seterusnya malah kita yang kewalahan. Iya, dijual di Luwuk, di Pasar Simpong,”tuturnya.
Saat ini, Endi tak lagi menjual sagu dalam jumlah besar, karena pohon sagu yang terus berkurang beberapa tahun terakhir.
“Sekarang tinggal mengecer begini, tidak bisalagi jual karung basung (tempat tradisional),” tuturnya sambil menunjukan sagu yang telah dikemas.
Pada tahun 2015 hingga 2016, Endi masih mampu memproduksi 70 karung hingga 100 karung dalam 10 hari.
Pohon dan air yang tersedia di dekat lokasi produksi, turut membantu Endi dan salah satu partnernya untuk mengejar target sesuai permintaan pasar.
“Saat itu memang pohon banyak, ada di sana itu,” kata pria asal Masamba, Sulawesi Selatan ini sambil menunjukkan lokasi seluas 70 hektare tanaman sagu yang telah habis ditebang.
Kata Endi, termasuk produsen sagu yang terbilang sukses ketika pohon sagu masih tersedia.
Ia berhasil membangun rumahnya dan membeli kendaraan roda empat.
Saat itu, harga satu batang sagu dijual Rp50ribu, lalu naik menjadi Rp150 ribu dalam dua batang.
“Sekarang ada yang Rp100 ribu satu batangkalau jauh lokasinya,”katanya.
Ia merinci, dalam 1 pohon sagu paling sedikit5 karung dan maksimal 18 karung basah. Berat per karungnya mencapai 36 kilogram.
“Rata-ratanya 7 sampai 9 karunglah dikali 36kilogram,”katanya.
Zakaria pun menambahkan tengah memproduksi sagu di Desa Sirom, Kecamatan Lamala yang merupakan bekas area cetak sawah baru.
Di lokasi ini, Zakaria menyaksikan proses pohon sagu produktif ditebang untuk dialihkan menjadi persawahan yang akhirnya gagal juga.
Meski cetak sawah dilakukan beberapa kali di Kabupaten Banggai, tetapi hilangnya pohon sagu tak terdata dengan baik.
Zakaria mengingat kembali, produktivitas sagu tahun 2018 dan 2019, khusus di Desa Tangeban terdapat sekitar 250 hektare lahan sagu. Namun, data tidak sinkron dengan data BPS Kabupaten Banggai tahun 2020. Dalam data BPS Kabupaten Banggai dengan areal perkebunan sagu tetap 618 hektare (tidak berubah) dan produktivitas 48,97 per hektare.
Hilangnya pohon sagu semakin menjauhkan masyarakat Kabupaten Banggai dari pangan lokal, sehingga secara masif mengonsumsi padi jagung dan kedelai(Pajala). Data Statistik Kesejahteraan Sosial 2021 mengungkap rata-rata pengeluaran per kapita untuk jenis padi-padian.
Begitu juga dengan rata-rata konsumsi kalori menurut kelompok komoditas makanan dan kelompok pengeluaran.
Padi-padian mencapai 932, 23 Kkal, sedangkan umbi-umbian hanya66,73 Kkal.