Sedikit sesal mengendap, bagaimana tidak mengonsumsi sagu yang dimasak menjadi “onyop” dan kuah asam, membuat daya tahan tubuh Usman lebih terjaga.
Berbicara tentang onyop, berarti berbicara tentang kebiasaaan masyarakat Banggai Bersaudara (Banggai, Bangkep, Balut) mengkonsumsi sagu. Onyop hadir di Maluku dan Papua dengan sebutan Papeda, hadir di Makassar dengan sebutan kapurung. Meski ada perbedaan, namun makanan ini dalam cara penyajian sangat mirip.
Di kota yang luasnya 72,82 km persergi ini, sagu menjadi salah satu kuliner khas yang disantap bersama. Awalnya onyop, juga dua olahan sagu lainnya, jepa dan sinole, menjadi sajian di meja makan saja.
Orang-orang menikmatinya sembari bercerita dan mendecakkan lidah karena paduan onyop dan ikan kuah kuning yang segar.
Seorang nelayan di Balantak, misalnya, menjadikan onyop sebagai makanan yang menghilangkan lelahnya.
Si nelayan akan meminta istrinya membuatkan onyop di dini hari yang dingin sepulangnya dari laut. Onyop disajikan panas-panas dengan ikan yang baru saja didapatnya dari laut.
Empat etnis di Banggai, menjadikan onyop sebagai sebuah “pertalian” saudara. Cara membuat onyop yang praktis, menjadikan makanan ini menjadi santapan yang bisa dimakan kapan saja. Anda bisa menemukan onyop di arisan keluarga, di acara mingguan keluarga, di pondok-pondok kecil di kebun, di rumah para nelayan, dan lainnya.
Onyop hadir juga di deretan warung pinggir pantai di Kota Luwuk. Di sini onyop disajikan dengan ikan kuah asam, ikan woku, ikan fufu santan, sayur lilin santan, dan tentu saja tak lupa cabai dan jeruk limau.
Di Kota Luwuk, Kabupaten Banggai dan sekitarnya, sagu bukan hanya makanan yang dikonsumsi sesekali pada saat-saat tertentu. Sagu menjadi bagian penting dalam keseharian, tersaji di meja makan dalam bentuk onyop, jepa, dan sinole. Sagu bukan bahan makanan yang asing di lidah, ia menjadi kebutuhan pangan masyarakat lokal.
Sagu juga di olah jadi kue kering, menjadi bagea dan koa. Bagea lagi-lagi berasal dari perjalanan budaya, secara terpisah akibat proyek cetak sawah, masyarakat yang menokok sagu juga terkena dampak buruk.
Salah satunya Endi (49) warga Desa Tangeban, Kecamatan Masama, juga menceritakan kondisi Desa Bahari Makmur, Kecamatan Lamala, Kabupaten Banggai.
Di sana, 90 hektare lahan pohon sagu telah dialihfungsikan menjadi areah persawahan melalui program cetak sawah baru tahun 2020. Sama dengan lahan di Desa Baruga dan Desa Labotan, cetak sawah ini menuai kegagalan.
“Sekarang pohon sagu tinggal kenangan,sudah tidak ada karena digusur jadi saawah tapi gagal,” katanya.
Hal ini turut berpengaruh pada produksi sagu yang dihasilkan Endi. Padahal dalam satu rumpun sagu yang terdiri 4-5 pohon, membutuhkan waktu 20 tahun untuk bisa dipanen.