BULUNGAN, Kabar Selebes – Harga cabai rawit di Pasar Induk Banuanta Kecamatan Tanjung Selor Kabupaten Bulungan Provinsi Kalimantan Utara, “ngeri-ngeri sedap”.
Betapa tidak, pasca hari raya Idul Adha 2022 ini, harga cabai rawit di Provinsi Kaltara tembus dj harga 200 ribu rupiah perkilogramnya. “Di Pasar induk harga cabai kecil itu 200ribu. Kalo di Pasar Sore Suprapto lebih mahal lagi pak, barusan saya beli dapatnya harga Rp 210ribu,” terang Acil Ifana Habib, salah seorang pembeli.
Ifana yang menyampaikan keluh kesahnya kepada KabarSelebes.id via aplikasi WhatsApp, Jumat 15 Juli 2022 usai shalat isya mengisahkan, sejan sepekan belakangan ini, harga cabai rawit yang di akrab masyarakat Sulawesi Tengah dengan sebutan “rica kecil” itu, kian hari kian mahal.
“Kalo Senin kemaren (11/07) harganya masih 180an ribu rupiah pak. Itu pun sudah di dapat. Biasanya hanya satu jam saja sudah habis,” tambahnya.
Meski demikian, sambung pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bertugas di Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bulungan tersebut mengatakan, harga berapa pun yang di jual pedagang, tetap di “serbu” para pembeli.
“Kalo tidak mengonsumsi cabai rawit sehari saja, kayaknya gimana gitu. Makanan terasa hambar pak,” aku wanita asal Desa Maffa Kecamatan Gane Timur Kabupaten Halmahera Selatan Maluku Utara itu.
Hal senada pun di lontarkan rekan kerja Ifana, Husen Collong. Dirinya merupakan pengkonsumsi berat tanaman yang bernama latin Capsicum frutescens itu, terpaksa putar otak agar makanan yang di santapnya, tetap terasa pedas.
“Kalau sudah harganya sudah mahal seperti harga sekarang, saya biasa hanya konsumsi tiga biji disambung dengan sambal ekstra pedas botolan, meski rasanya jauh bedanya dari aslinya. Tapi lumayanlah masih terasa pedas,” aku mantan Guru MTs Negeri Tanjung Selor itu.
Sementara itu, ibu Riska (49) salah seorang pedagang cabai rawit yang selalu mangkal di pasar induk terbesar di ibukota provinsi yang berbatasan langsung dengan negeri jiran Tawau, Malaysia itu menjelaskan soal mahalnya hargai cabai rawit.
Kata Riska, hal itu di pengaruhi oleh belum adanya pasokan cabai rawit dari Provissi Sulawesi Tengah yang telah jadi pemasok utama bahan komodoti pertanian termasuk Cabai rawit.
“Setelah lebaran ini, beljm ada kapal sayur atau kapal feri yang biasanya bawa cabai rawit dari Sulteng ke Kaltara. Bos saya yang biasa menampung cabai rawit setelah turun dari kapal yang berada di Tarakan, masih kosong,” ujar Riska saat dihubungi media ini melalui sambungan seluler Jumat (15/07) malam.
Pedagang berdarah Bugis Enrekang yang telah 30an tahun menetap di Tanjung Selor itu menuturkan, guna mengantisipasi “kelangkahan makanan pedas” itu, dirinya bersama pedagang lainnya, membeli cabai rawit lokal yang berasal dari beberapa daerah yang ada di Kaltara.
“Kadang di petni lokal pun sudah jarang menanam cabai. Hanya satu dua orang saja yang bertani cabai. Alasan petani, karena sekarang kan masuk musim penghujan, tanaman cabai rawit jarang yang bisa bertahan. Jadi petani rugi menanamnya pak. Makanya kalo ada di petani harganya juga mahal, bisa sampe 180ribu perkilonya pak,” tukasnya.
Memang, pantauan media ini, hanya ada dua kapal yang setiap pekannya melayani angkutan bahan pokok petani menuju Kaltara. Yaitu, kapal roro jenis ferry bernama Julung-julung dan kapal perintis milik PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) Kapal Motor Sabuk Nusantara 116 dari Pelabuhan Tolitoli Sulteng menuju Pelabuhan Juata Tarakan. (hcb)
Laporan :Hasan Cl. Bunyu