Penyakit tular vektor merupakan penyakit menulai melalui vektor atau binatang pembawa penyakit. Salah satu contoh penyakit tular vektor adalah Schistosomiasis. Schistosomiasis merupakan suatu penyakit parasi yang disebabkan oleh trematoda diagenesa dari genus anggora Schistosoma yang secara umum dikenal dengan cacing darah.
Di Indonesia penyakit Schistosomiasis hanya dapat ditemukan di Dataran tinggi Lindu dan Lembah Napu, Sulawesi Tengah, penyakit ini dapat disebabkan oleh cacing Schistosoma japonicum, sedangkan hospes perantaranya keong Oncomelania hupensis lindoensis. Cacing ini dapat menyerang permukaan kulit dan menyebar melalui pembuluh darah ke orgna tubuh terutama hati. Cacing ini tidak hanya menyerang manusia tetapi juga pada hewan seperti tikus dan hewan ternak.
Hal ini juga menjadikan hewan tersebut sebagai media penyebaran penyakit melalui kotorannya. Daerah yang tergenang air seperti persawahan, rawa, dan sekitar danau merupakan habitat keong, sehingga penduduk lokal yang beroperasi di daerah hotspot keong dapat terus mengalami infeksi secara berulang.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Dinkes Kabupaten Sigi, prevelansi Schistosomiasis di Dataran Tinggi Lindu masih cukup tinggi yaitu 3,22 % pada tahun 2010, 2,67 % pada tahun 2011, dan 1,13 % pada tahun 2012. Kasus Schistosomiasis dengan nilai diatas 1 % termasuk ke dalam masalah kesehatan masyarakat. Penyakit ini disebut sebagai penyakit keong oleh masyarakat Lindu dan Napu.
Siput Oncomelania hupensis di Dataran Lindu tersebar di beberapa kawasan seperti persawahan, kebun hutan, padang rumput atau alang-alang tempat yang tidak terkena sinar matahari, rawa-rawa, tanah yang basa, aliran air yang tenang, dan terdapat di kanal irigasi untuk persawahan. Pada tahun 2017 angka inveksi Schistosomiasis pada tikus di Lindu sebesar 14,29 %. Penularan Schistosomiasis terjadi saat parasit serkaria keluar dari tubuh keong.
Penularan terjadi saat manusia ataupun hewan seperti mamalia menginjak kaki atau buang air besar di tempat-tempat yang mengandung serkaria, kemudian serkaria akan yang nantinya akan menginfeksi manusia yang berenang bebas di air. Serkaria akan masuk ke dalam pori-pori kulit dan dengan cepat mengikuti aliran darah. Selain menginfeksi manusia, schistosomiasis juga dapat menginfeksi hewan mamalia sehingga rantai penularan penyakit tersebut akan terus terjadi di Dataran Tinggi Lindu. Apabila seseotang telah tertular oleh penyakit Schistosomiasis maka dengan secara otomatis orang tersebut akan terinfeksi Schistosomiasis dan dalam beberapa minggu akan mengalami gejala seperti demam, mual, pusing, dan sakit kepala.
Penyakit Schistosomiasis dapat terjadi karena diakibatkan oleh pengaruh lingkungan alam, yaitu hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan alamnya. Lingkungan alam yang menyediakan tempat berkembangbiak keong sehingga keong hanya mampu hidup dan berkembang pada wilayah kawasan Lindu.
Salah satu pengendalian Schistosomiasis yaitu dengan melakukan pemutusan rantai penularan yaitu pengendalian keong perantara Schistosomiasis (Oncomelania hupensis lindoensis) yang dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara mekanik dan kimiawi. Pengendalian secara kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan molukisida Bayluscide 70% WP dengan dosis 0,2gr/m² dengan cara di semprotkan setiap 6 bulan sekali pada fokus aktif. Sedangkan pengendalian secara mekanik dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti perbaikan dan pembuatan saluran air, pembersihan saluran air, pengeringan daerah fokus, pemanfaatan lahan fokus menjadi lahan yang lebih produktif. Apabila prevalensi terjadi di atas 1 % dan pengobatan selektif jika prevalensi pada manusia kurang dari 1 % dapat dilakukan pengobatan massal. Pengobatan Schistosomiasis dilakukan dengan menggunakan praziquantel (60mg/kg BB), karena sangat efektif terhadap semua bentuk Schistosomiasis, baik pada fase akut dan kronik ataupun yang sudah mengalami spleenomegali.
Penulis :
Anastasya Virginia T. Philipus
Mahasiswa Universitas Kristen Duta Wacana
Referensi
Ningsi & Hatta, I. (2017). Pengetahuan Masyarakat Lindu terkait Schistosomiasis di Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah. Jurnal Vektor Penyakit, 11(2), 49-60.
Pitriani, P., & Rau, M. J. (2017). ELIMINASI SCHISTOSOMIASIS DI SULAWESI TENGAH; REVIEW SISTEMATIK DAN FOKUS GROUP DISCUSSION. Jurnal Muara Sains, Teknologi, Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, 1(1), 67-74.
Vrisca, V. (2014). GAMBARAN PENYAKIT SCHISTOSOMIASIS JAPONICUM DITINJAU DARI JARAK ANTARA RUMAH ANAK YANG TERINFEKSI DENGAN DANAU LINDU. e-CliniC, 2(1).