Poso: Trauma yang Mendikte Kekinian
Konflik Poso adalah peristiwa negatif yang didalamnya memuat narasi kelam pembunuhan, pemerkosaan, pengrusakan, penindasan dan seterusnya pada manusia. Mengingat peristiwa konflik Poso sama dengan mengingatkan kembali peristiwa-peristiwa negatif tersebut. Bagi korban yang mengalami atau melihat pembantaian keluarganya misalnya, berarti mengingat kembali peristiwa tersebut seakan baru saja terjadi di depan matanya. Inilah yang kemudian menimbulkan trauma.
Dampak dari peristiwa ini semakin membesar apabila dalam peristiwa negatif tersebut melekat suatu identitas tertentu misalnya agama. Penderitaan seorang individu menjadi penderitaan kolektif karena orang tersebut menganut agama yang sama dengan dirinya. Maka penderitaan yang dialami harus dibalaskan oleh semua orang yang seagama. Dari sini ekses berantai bertumbuh. Mengental dalam label dan aksi terorisme. “Jenisnya” yang sangat berbeda dari aktivitas terosisme yang lain. Dari penafsiran sebuah teks agama yang membentuk doktrin bahwa seorang manusia adalah bersaudara dengan hanya yang seagama.
Konflik Poso bermula dari sebuah kriminal murni yaitu perkelahian dua orang anak muda yang kebetulan berbeda agama. Terlepas dari adanya penyebab lain, perkelahian itu kemudian menjadi kerusuhan sosial bernuansa SARA yang massif. Dikarenakan konfliknya bersifat massif maka trauma individu menjadi trauma kolektif atau dialami oleh banyak orang. Trauma itu sendiri, tulis Budi Hardiman, adalah berbasis peristiwa tapi trauma itu sendiri tidaklah berciri peristiwa. Dia adalah bekas yang membekukan peristiwa dan menghadirkan kembali serta melebih-lebihkan sisi gelapnya. Karena itu, tulis Budi Hardiman, juga trauma bagaikan seorang diktator yang mendikte kekinian korbannya. Jika orang mengalami trauma maka akan susah menghapusnya. Apa yang dialami pada suatu peristiwa seakan-akan terulang terus-menerus seperti mesin yang digerakkan secara mekanis. Jika korban mengingat peristiwanya maka ia seakan-akan mau membalas peristiwa tersebut seketika.