Tutup
Kolom Anda

Ketika Kahmi Masuk Masjid Menjadi Gerakan

×

Ketika Kahmi Masuk Masjid Menjadi Gerakan

Sebarkan artikel ini

PROF DR Abdul Munir Mulkhan menjadi representasi “kegelisahan” jama’ah Muhammadiyah. Salah satu hal yang mengemuka, pendapatnya saat ia mengatakan,”Aktivis Muhammadiyah kini tak menangkap ruh gerakan sosial Dahlan.” Maksudnya Kader Muhammadiyah modern telah gagal memahami maksud-maksud pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan. Pendapat-pendapatnya begitu kritis. Yang lebih kekinian, ia pernah menggugat “kejumudan” organisasi modern ini dengan mengatakan,” Muhammadiyah perlu kian tanggap atas persoalan-persoalan kekinian semisal tren penggunaan crypto currency atau bit coin dalam bisnis modern.” Kontras dengan perhelatan yang digelar di Palu, sekumpulan insan Indonesia menggelar MUNAS KAHMI XI. Saya perlu berkilas balik, KAHMI (Korps Alumni HMI) – yang dilahirkan HMI, telah berusia 47 tahun (sedangkan HMI darimana KAHMI terinspirasi, lebih dulu  lahir. 75 tahun sejak ia didirikan, 5 Februari 1947). HMI pun, produk zaman old yang perlu menyadari suasana zaman!

Benar, terasa relatif kekinian, ketika dasar memutuskan kota Palu, Sulteng diputuskan menjadi tempat MUNAS KAHMI XI. Berbeda dengan perhelatan-perhelatan yang umumnya menyuguhkan kemegahan dan prestasi, kota Palu terpilih justru saat memenangi kondisi sebagai daerah yang pernah terpapar bencana, bahkan triple bencana: gempa bumi, likuifaksi, tsunami. Pilihan ini menurut saya “amat kekinian”, bahwa dunia ini secara alami kian tua, dana lam “sudah letih” menyangga  umat manusia di atasnya.

Advertising

Menurut saya, isu yang diusung MUNAS, dengan tiga tema besarnya: Pertama bagaimana KAHMI  memberi kontribusi pemikiran dan gerakan menghilangkan stigma Sulteng (khususnya Poso) sebagai Daerah Konflik dan basis teroris. Kedua, gerakan kemanusiaan yang akan melahirkan “KAHMI Peduli” yang dawali dengan memberi nilai tambah terhadap proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana alam dan non alam di Sulawesi Tengah. Ketiga, bagaimana KAHMI merespon soal pengembangan UMKM dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Menurut saya, ketiga tema itu terasa kurang “mewakili” semangat kekinian.

Berubahnya Mindset Manusia

Sejumlah fakta mengemuka. Bahkan sejumlah ilmu baru di jagat akademik, telah mewarnai kampus. Entitas “mahasiswa” pun sudah harus responsif atas tren ini. Warna dunia yang memasuki era milenial (juga dikenal sebagai Generasi Y, Gen Y atau Generasi Langgas) adalah kelompok demografi setelah Generasi X (Gen-X). Tidak ada batas waktu yang pasti untuk awal dan akhir dari kelompok ini. Para ahli dan peneliti biasanya menggunakan awal 1980-an sebagai awal kelahiran kelompok ini dan pertengahan tahun 1990-an hingga awal 2000-an sebagai akhir kelahiran. Apa artinya? Mindset generasi milenial sangat berbeda dari era generasi sebelumnya. Dunianya berbeda, preferensinya terhadap kehidupan juga berbeda,

Dengan perubahan ini, mau tak mau, suda atau tidak, manusia KAHMI pun patut berhitung dan hirau atas tren kekinian. Di awal tulisan ini telah disinggung, “organisasi modern pun (Muhammadiyah) dikritisi mulai masuk zaman jumud, beku pemikiran”. Ikon-ikon zaman old, mulai beradaptasi. Institusi seperti Dewan Masjid yang kini dipimpin HM Jusuf Kalla, jelas beliau produk zamannya, berpikir dengan perspektif zamannya. Presiden pertama RI, Sukarno pernah mengatakan,”Kita harus memudakan Islam.” Meskipun Indonesia saat itu, selain “negara baru merdeka”, juga fenomena teknologi bahkan ideologi belum sepesat perkembangan era millennium. Kita harus tersemangati pendapat Sukarno, meskipun untuk kasus organisasi  kemahasiswaan zaman itu, cukup banyak hal yang tidak menarik diingat-ingat.

Metaverse dan Masjid Zaman Now

Dalam peristilahan, kata metaverse dimaknai “suatu teknologi Augmented Reality (AR) yang memungkinkan individu untuk berinteraksi dengan individu lainnya secara virtual. Metaverse kerap diartikan sebagai simulasi dunia nyata manusia yang diimplementasikan di dunia maya atau internet.” Ini zama yang baru, setidaknya versi tahun 2022. Jejak kebaruannya it uterus berkembang. Sejumlah kampus, termasuk kampus Uninersitas Insan Cita Indonesia (UICI) yang dipimpin Kanda Profesor Laode Kamaluddin sebagai rektornya, mengangkat isu pendidikan ekonomis, yang memungkinkan manusia terdidik belajar di bangku perguruan tinggi dengan biaya relatif lebih murah. Sejumlah mahasiswa, diajar banyak akademisi mancanegara.

Para mahasiswa belajar serba digital. Bahkan kampus UICI memiliki lahan dengan aplikasi teknologi digital di Sulawesi Tenggara. Jadilah UICI memiliki kampus dengan ukuran relatif lebih kecil (small campus), dengan tenaga pengajar global (dari berbagai negara), berbiaya lebih ekonomis. Mindset lah yang memungkin berbagai hal relatif bisa disederhanakan: dari segi ukuran, kompleksitas, sebaran (spreading), jangkauan (range). Dengan “paket” simple kehidupan, banyak hal relatif bisa hadir virtual.  Institusi old begitu cepat, suka atau tidak menghadapi ketergeseran; tergantikan sejumlah tuntutan kekinian.

Kahmi masuk masjid, menjadi penyikapan. Organisasi kader ini, dengan kompleksitas keahlian dan peminatan, dihadirkan ke masjid. Ini langkah untuk bisa memahami problematika ummat. Tahu problema, berarti juga sadar solusi. Salah satu ikhtiar yang digagas, menjadikan masjid menjadi sentra pembangkitan. Tidak berlebihan kiranya, karena dalam banyak masa, ummat Islam –yang basisnya masjid—menebar “narasi pilu”. Bicara Islam dan ummat Islam, kerapkali nasib keterpurukan dan keterbelakangan, kontras dengan umat beragama lain. Dengan penuh kesadaran, menjadikan masjid sentra pembangkitan, sebuah “semangat” dan “tekad”, juga langsung menjadi aksi: aksi untuk membangkitkan ekonomi ummat.

Ada semangat yang sama, sebagaimana pernyataan Ketua Majelis Wilayah Sulteng, H. Andi Mulhanan Tombolotutu, bahwa UMKM itu secara sadar menjadi vektor pembangkitan ekonomi ummat, dan masjid menjadi sentra ikhtiar pembangkitan itu, dengan kata lain, lewat berbagai produk UMKM pembangkitan itu bisa diaktivasi. Yang diperlukan: pelatihan manajemen produk-produk UMKM itu (pelatihan teknis kalau perlu, karena berbasis masjid sangat mungkin yang memproduksi produk-produk UMKM itu belum berpengalaman).

Dengan pelatihan intensif, diharapkan para pengampu produksi itu memiliki kapasitas produksi yang handal dan layak jual. Maka langkah selanjutnya, bagaimana menjualnya. Salah cara kekinian yang terpikir, menjualnya di market place. Di belakang proses itu, keseriusan menolong pembangkitan ekonomi ummat ditandai kerja cerdas ikhtiar penjualan itu. Ada serangkaian tools yang membutuhkan kehadiran enjiner teknologi informatika. Dengan digitalisasi teknologi, proses yang rumit relatif bisa disederhanakan. Apalagi secara kelembagaan, telah dirintis Kahmi Payment yang bukan mustahil didalamnya ada “paket strategi” pembangkitan ekonomi ummat, salah satu sentranya, di masjid.

Ibadah Virtual, Bisnis Virtual

Palu, hanya menjadi ikon, tetenger, penanda bencana luar biasa yang menimpa. Jejak digital menyebutkan, bencana besar menerpa Palu dan sekitarnya Oktober 2018. Adalah Dewan Masjid Indonesia – yang kini diketuai HM Jusuf Kalla.  Dewan Masjid Indonesia  Pusat, masuk ke Sulteng, menghadapi fakta demikian banyak masjid yang rusak. Ketua Dewan Masjid Indonesia. HM Jusuf Kalla ketika masih Wakil Presiden (sekaligus Ketua Umum DMI) memberi arahan, “Fokus DMI membangun kembali masjid karena tempat ibadah bagi masyarakat Indonesia adalah organ vital.”

Ada kesalingterkaitan masjid di satu sini, dan humanity di sisi yang lain. Dalam perspektif umumnya masjid, punya fungsi tunggal: tempat peribadatan ummat Islam. Sedangkan belum cukup menonjol peran masjid – selain untuk beribadah.  Disadari atau tidak, masjid secara sosial pun tidak ada penolakan untuk menjadikannya shelter (penampungan), terlebih ketika bencana mendera sebuah daerah. Penyintas (bisa) menjadikan masjid sebagai shelter sementara. Krisis kebencanaan menyulap peran masjid sosial sebagai shelter. Secara simultan, jama’ah masjid tak hanya bisa memperlakukan masjid untuk beribadah; juga menjadikannya sebagai shelter (tempat penampungan sementara), bahkan, untuk bisnis.

Teknonogi Augmented Reality (AR), sangat mungkin diaplikasikan dalam beribadah. Rekan-rekan para alim, perlu menguasai teknologi ini agar bisa melayani ummat. Secara simultan kader alumni HMI berlomba-lomba menguasai teknologi Augmented Reality dalam aktivitas bisnis. Aspek produksi dalam waktu yang memadai bisa ditransformasikan kepada jama’ah atau profesional yang diberi mandat khusus untuk aktivitas produksi. Sementara ini, dalam usaha kea rah penguasaan teknologi, bisa dirintis aktivitas hybrid: kombinasi digital dan manual, sampai secara teknis semuanya bisa dikuasai. Perlahan, tanpa melawan Sunnah, dengan teknologi bisa dikatakan” secara virtual beribadah dan berbisnis, sama-sama dijalankan. Yakin usaha sampai.(*)

Penulis : Iqbal Setyarso

Alumni HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako Angkatan 1992

Silakan komentar Anda Disini….