SEBUAH perhelatan digelar sebuah organisasi Islam yang berusia cukup tua di Indonesia, Himpunan Mahasiswa Islam, yang telah berusia 75 tahun sejak didirikannya, 5 Februari 1947 silam, persis dua tahun setelah Indonesia memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Pada usia cukup matang itu, selebrasi organisasi ini – yang biasanya mengambil momentum Musyawarah Nasional, kali ini, tahun 2022, memilih tempat di kota Palu, Sulawesi Tengah. Hal ini setelah kota Palu memenangkan kompetisi calon tempat Musyawarah Nasional HMI, setelah mengalahkan Manado, Sulawesi Utara. Palu, sontak menasional. Salah satu penanda kota ini memenangi kompetisi dari pesaing ketatnya Manado, karena isu kemanusiaan yang fenomenal. Palu, sebagaimana diketahui publik, tahun 2018 silam mengalami triple bencana alam: gempa bumi, tsunami, likuifaksi.
Karena fakta kebencanaan itulah, maka MUNAS KAHMI berbeda dibanding sebelum-sebelumnya. Sekurang-kurangnhya, ada tiga isu yang menjadi tema besarnya. Pertama bagaimana KAHMI memberi kontribusi pemikiran dan gerakan menghilangkan stigma Sulteng (khususnya Poso) sebagai Daerah Konflik dan basis teroris. Kedua, gerakan kemanusiaan yang akan melahirkan “KAHMI Peduli” yang dawali dengan memberi nilai tambah terhadap proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana alam dan non alam di Sulawesi Tengah. Ketiga, bagaimana KAHMI merespon soal pengembangan UMKM dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. “Karena itu Forum Munas hanya di isi oleh pembicara yg memiliki kompetensi terhadap ketiga isu itu,” jelas Ketua Majelis Wilayah (MW) Sulteng H. Andi Mulhanan Tombolotutu.
Di luar Forum Munas secara paralel Panitia akan menyiapkan venue Expo/pameran untuk UMKM yang akan dihadirkan oleh MW se Indonesia. Panitia juga akan memfasilitasi Panggung sebagai “Mimbar Kebangsaan” yang akan memberi kesempatan kepada para tokoh nasional dan daerah untuk mencurahkan berbagai gagasannya (Bidang Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya). Diharapkan MUNAS Kahmi XI di Palu ini melahirkan gagasan kebangkitan ekonomi ummat.
Pembangkitan Ekonomi Ummat
Mulai dari mana? Masjid menjadi sentra ikhtiar pembangkitan. Tidak berlebihan kiranya, karena dalam banyak masa, ummat Islam –yang basisnya masjid—menebar “narasi pilu”. Bicara Islam dan ummat Islam, kerapkali nasib keterpurukan dan keterbelakangan, kontras dengan umat beragama lain. Dengan penuh kesadaran, menjadikan masjid sentra pembangkitan, sebuah “semangat” dan “tekad”, juga langsung menjadi aksi: aksi untuk membangkitkan ekonomi ummat.
Ada semangat yang sama, sebagaimana pernyataan Ketua Majelis Wilayah Sulteng, H. Andi Mulhanan Tombolotutu, bahwa UMKM itu secara sadar menjadi concerned pembangkitan ekonomi ummat. Masjid menjadi sentra ikhtiar pembangkitan itu, dengan kata lain, lewat berbagai produk UMKM pembangkitan itu bisa diaktivasi. Yang diperlukan: pelatihan manajemen produk-produk UMKM itu (pelatihan teknis kalau perlu, karena berbasis masjid sangat mungkin yang memproduksi produk-produk UMKM itu belum berpengalaman).
Dengan pelatihan intensif, diharapkan para pengampu produksi itu memiliki kapasitas produksi yang handal dan layak jual. Maka langkah selanjutnya, bagaimana menjualnya. Salah cara kekinian yang terpikir, menjualnya di market place. Di belakang proses itu, keseriusan menolong pembangkitan ekonomi ummat ditandai kerja cerdas ikhtiar penjualan itu. Ada serangkaian tools yang membutuhkan kehadiran enjiner teknologi informatika. Dengan teknologi informatika, proses yang rumit bisa relatif bisa disederhanakan. Apalagi secara kelembagaan, telah dirintis Kahmi Payment yang bukan mustahil didalamnya ada “paket strategi” pembangkitan ekonomi ummat, salah satu sentranya, di masjid.
Antara Humanity dan Wirausaha
Semangat MUNAS, di antaranya, menginisiasi gerakan Kahmi Peduli Kemanusiaan. Dan Masjid-masjid yang terdampak bencana di Palu, ada yang dikategorikan Masjid Raya. Masjid-masjid itu tentu dipakai shalat jama’ah dalam jumlah besar. Menurut catatan yang dimuat harian Republika, ada 191 masjid yang rusak di Sulteng. Pihak Dewan Masjid Indonesia Pusat, masuk ke Sulteng, menghadapi fakta demikian banyak masjid yang rusak. Ketua Dewan Masjid Indonesia. HM Jusuf Kalla ketika masih Wakil Presiden (sekaligus Ketua Uum DMI) memberi arahan, “Fokus DMI membangun kembali masjid karena tempat ibadah bagi masyarakat Indonesia adalah organ vital.”
Ada kesalingterkaitan masjid di satu sini, dan humanity di sisi yang lain. Dalam perspektif umumnya masjid, punya fungsi tunggal: tempat peribadatan ummat Islam. Sedangkan belum cukup menonjol peran masjid – selain untuk beribadah. Disadari atau tidak, masjid secara sosial pun tidak ada penolakan untuk menjadikannya shelter (penampungan), terlebih ketika bencana mendera sebuah daerah. Penyintas (bisa) menjadikan masjid sebagai shelter sementara. Krisis kebencanaan menyulap peran masjid sosial sebagai shelter.
Dua peran menonjol masjid: peribadatan (spiritual) dan shelter (sosial) di masa lalu pernah diteladankan Rasulullah, bahkan masjid “multi fungsi”: tempat belajar agama, tempat latihan perang, bahkan tempat berwirausaha (meskipun tidak di area ibadah, tetapi ada yang dikhususkan untuk menjadi tempat berwirausaha). Tema MUNAS KAHMI, mengusung tiga tema utama: humanity (melalui Kahmi Peduli Kemanusiaan), sosial-politik (melalui conditioning [khususnya daerah Poso] dari stigma sarang teroris dan daerah konflik, dan ekonomi kerakyatan (melalui pengembangan UMKM yang sustainable). Dengan begitu, melengkapkan dimensi spiritual dan sosial, perlu masuk dimensi ekonominya. Jadilah pembahasan masjid di MUNAS KAHMI mengungkapkan dimensi spiritual, sosial dan ekonomi. Dimensi ekonomi ini, lebih konkritnya kewirausahaan berbasis masjid.
Seperti apa kewirausahaan yang dimaksud? Masjid-masjid yang secara sengaja disasar (dengan kriteria dan melalui assessment yang akurat), menjadi sentra usaha ekonomi. Dalam konteks ini, ada masjid yang menjadi “masjid produksi” dan “masjid penjualan”. Masjid produksi, masjid yang menghasilkan produk yang dibutuhkan khususnya jama’ah maupun masyarakat sekitarnya. Masjid penjualan, didesain memiliki gudang karena menjalankan fungsi sebagai transit barang yang diproduksi pengelola masjid (tentu dipilih personil yang capable untuk itu). Dalam struktur kemasjidan, direncanakan ada minimarket masjid (wahana jual beli jama’ah pada produk sendiri [atau bersinergi dengan masjid lain dalam pengadaan produknya]). Jama’ah memenuhi barang-barang kebutuhan pokoknya dari minimarket masjid.
Gagasan ini bukan sekadar impian, namun sebuah cita-cita yang tahap-tahapnya diikhtiarkan penuh kesungguhan. Ini paket niat, kesungguhan, ikhtiar dan usaha sungguh-sungguh. Persis sepotong lagu himne HMI. Yakin usaha sampai.(*)
Penulis : Iqbal Setyarso
Alumni HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako Angkatan 1992