MORUT, Kabar Selebes – Anggota rombongan yang cukup menarik perhatian dalam kunjungan kerja Bupati Morowali Utara ke Desa Menyoe, Kecamatan Mamosalato, pekan lalu, (17/11/2021) adalah dua ibu yang selalu menjadi penyemangat.
Keduanya adalah Ibu Febriyanthi DJ Hehi (istri Bupati Morut) dan ibu Widyawati Malla H. Djira (istri Wabup Morut).
Dengan modal tongkat, mereka berjalan kaki, menyeberang sungai, keluar-masuk hutan, bersama rombongan lainnya.
Saat tak mampu lagi berjalan kaki, keduanya pun ikut nebeng menaiki bak gandengan mobil jonder yang kebetulan lewat. Yang penting naik, entah sampai dimana.
Saat itu memang serba darurat. Tak satu pun yang menyangka kalau semua kendaraan rombongan akan terjebak dalam lumpur dan tidak bisa bergerak lagi.
Ada tujuh mobil rombongan. Semuanya double gardan. Artinya, meski medan yang akan dilalui tergolong berat, biasanya kendaraan sejenis ini hampir pasti akan lolos.
Namun, apa yang dialami rombongan Bupati Morowali Utara (Morut) Delis Julkarson Hehi benar-benar diluar perkiraan. Dari tujuh kendaraan tersebut tak satupun yang lolos.
Itu terjadi dalam perjalanan dari Desa Lijo menuju Desa Menyoe, Kecamatan Mamosalato, pekan lalu.
Dalam kondisi begitu, tak ada pilihan lain. Semua rombongan harus melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki.
Ada yang tembus ke Menyoe setelah berjalan kaki selama empat sampai enam jam. Banyak pula yang terpaksa bermalam di hutan karena sudah kecapean atau tak bisa menyeberang sungai yang sedang meluap.
Naik Jonder
Dalam perjalanan pulang dari Menyoe hal yang sama juga terjadi. Bahkan kondisinya lebih berat lagi. Sebagian besar anggota rombongan harus berjalan kaki puluhan kilometer.
Jalan yang dilalui bukan jalan biasa. Rombongan termasuk Bupati Delis dan Wabup H. Djira harus berjalan di sela-sela semak belukar, tanjakan, duri, bebatuan yang tajam dan licin.
Hal ini memang bisa dimaklumi. Desa Menyoe merupakan perkampungan Suku Wana yang paling terpencil dan terletak jauh di pegunungan. Kondisi ini diperparah oleh curah hujan yang cukup tinggi di wilayah tersebut.
Ketika rombongan bupati sedang istirahat di Pustu Desa Uepakatu, dalam waktu bersamaan melintas mobil jonder dengan gandengan terbuka. Tujuannya ke Parangisi seterusnya ke Lijo.
Jonder atau traktor biasanya dipakai untuk membajak sawah, mengangkut atau menarik kayu di hutan, dan biasa juga digunakan sebagai bala bantuan untuk menarik mobil yang mogok.
Saat di Uepakatu, ibu Febriyanthi dan ibu Widyawati ikut melompat naik di gandengan jonder. Hampir 20 orang berdesak-desakan di bak terbuka dan bergelantungan di mesin mobil gunung tersebut.
Ternyata, baru sekitar 200 meter berjalan, jonder itu tak bisa naik di tanjakan tajam. Selain penumpang berat, kondisi jalan juga sangat licin. Otomatis penumpang harus turun dan berjalan kaki lagi.
Meski gandengan mobil itu seringkali oleng dan cukup berbahaya, tidak membuat penumpangnya menyerah. Begitupun ibu Feby dan ibu Widya.
“Tetap semangat. Sesekali kita merasakan apa yang dirasakan saudara-saudara kita di pedalaman ini,” ujar ibu Feby.
Ibu Widya Malla juga demikian. Saat berjalan kaki dari Menyoe sampai Uepakatu, ibu berjilbab ini bahkan selalu berada di depan.
“Kita nikmati saja,” katanya sambil tersenyum.
Semangat dan kesabaran kedua ibu ini cukup memberi kekuatan kepada anggota rombongan lainnya yang rata-rata sudah kelelahan. (Ale)