PALU, KabarSelebes – Hari Kartini untuk kali kedua dirayakan di kala pandemi korona. Tak berlebihan rasanya perempuan sebagai tulang rusuk kini berubah jadi tulang punggung keluarga. Mereka hampir hadir di semua lini. Termasuk jadi garda terdepan melawan penyebaran Covid-19.
Peran sentral perempuan di kala wabah tak bisa dinafikan. Mereka hadir di setiap bilik, di kala kamar perawatan rumah sakit penuh dengan pasien korona. Siti Fitriani (53) misalnya, perawat di Rumah Sakit Anutapura Kota Palu ini memegang peran penting menghadapi wabah Covid-19.
Sejak pandemi awal masuk di Maret di Sulawesi Tengah (Sulteng), dia didapuk oleh rumah sakit untuk menjadi ketua tim perawat menangani pasien terjangkit Covid-19. Dia masih ingat betul waktu itu korona masuk di Sulteng saat dia pulang dari Jakarta. Setiba di Palu tanggal 2 Maret 2020, keesokan harinya dia langsung ditunjuk rumah sakit jadi ketua tim 1 perawat pasien Covid-19.
Hampir setahun sudah alat pelindung diri (APD) itu selalu menemani kesehariannya merawat pasien di rumah sakit. “Panas sih, mau di apa sudah kewajiban kita merawat pasien,” kata perawat yang sudah mengabdi sejak tahun 1989 ini, Rabu (21/04/2021). Badannya penuh peluh usai memeriksa pasien Covid-19 di RSUD Anutapura Palu.
Setahun lebih merawat pasien korona banyak tantangan yang harus dia hadapi. Dia mengaku bahkan sempat jadi suspek 02 di Palu karena mengalami gejala terkena wabah Covid-19. Ia merasa was-was terlebih kini sudah memasuki usia senja.
“Saya jadi suspek, karena dicurigai dari daerah terpapar,” katanya. “Saya yang ‘inreyen’ ruang isolasi di rumah sakit,”. Beruntung saat itu hasil PCR menunjukan dirinya negatif Covid-19.
Belum lagi keluarga pasien Covid-19 yang komplain dengan prosedur penanganan di rumah sakit serba menerapkan protokol kesehatan. Pasien yang dirawat kabur dari rumah sakit, hingga kaca jendela rumah sakit dipecahkan oleh keluarga pasien jadi cerita lain yang sempat disaksikan Siti .
“Biasa mereka (Keluarga) tidak setuju dengan penguburan secara Covid-19, sampai memecahkan kaca, kebetulan saya yang dinas, mereka tidak puas dengan pelayanan, tapi mereka tidak tau gimana kami, karena kami kan 24 jam di ruangan,” ungkapnya.
Dia tak sendiri, di ruang isolasi itu ada Lusia Rante (37) ketua perawat tim dua. Uchi, sapaan akrabnya hampir tiga bulan tidak bertemu anaknya yang masih Balita. Belum lagi suaminya juga bekerja menjadi perawat. Sehingga segala urusan merawat anak harus diserahkan kepada sepupunya.
“Ya kadang dulu kalau kangen video call saja sama anak,” kata dia menunjuk gambar anaknya umur 3 tahun di gawai .
Meski jarang berkumpul dengan keluarga, Uchi mengaku bersyukur punya keluarga baru di rumah sakit. Setiap pasien covid-19 sudah dianggapnya seperti orang tua sendiri. “Pasien kan nggak bisa dijenguk, jadi kita yang temani ajak ngobrol. Bahkan sudah keluar pasien masih sering menghubungi kami,” kata dia.
Sama halnya Siti, Uchi mengakui cukup berat tiap hari harus berurusan dengan pasien Covid-19. Tak hanya banyak keluarga pasien yang komplain. Stigma negatif Covid-19 juga pernah dia rasakan di lingkungan tempat tinggalnya. “Apalagi di awal-awal (Pandemi), kita kadang dijauhi karena ditau kita melayani pasien Covid,” ujarnya.
Selain itu, rasa was-was terjangkit Covid-19 paling sering dia rasakan. Belum lagi APD rumah sakit yang kurang karena sekali pakai harus berakhir di pembuangan. Walakin, hal itu tak membuat dia putus asa. “Pada prinsipnya yang penting kita tetap melayani pasien sesuai dengan standar prosedur,” katanya.
Jauh dari keluarga juga dirasakan dr Winarti Arifudin (43), ketua tim Dokter Covid-19 di RSUD Anutapura. Single parent beranak satu ini mengaku sempat satu bulan tak satu tempat tidur dengan anaknya. Hal itu diakui cukup membuat anaknya rindu.
“Sedih juga waktu di awal-awal pandemi tidur aja harus berjauhan, saya tidak bisa makan bersama seperti biasa, mau memeluk anak saja tidak bisa. Jadi kami betul-betul menjaga keluarga di rumah,” ujar dokter spesialis penyakit dalam ini.
Di tengah kondisi Covid-19 yang tak kunjung mereda, kadangkali ia juga mengaku berada titik jenuh. Terlebih di saat banyaknya pasien Covid-19 yang dirawat. “Tapi ya kembali lagi ini menjadi tanggung jawab kami, secara moral dan profesi ini wajib dilakukan,” katanya. “Alhamdulillah jika dijalani dengan ikhlas rasa jenuh itu bisa teratasi,”.
Bagi Winarti banyak pelajaran berharga yang didapat selama wabah pandemi. Apalagi saat dia bersama anaknya terjangkit Covid-19 di bulan Desember 2020. Melalui literatur-literatur yang dibaca dia lebih menaati protokol kesehatan untuk melindungi kesehatan keluarga.
“Meskipun kami perempuan, peran kami sama dengan laki-laki, tetap semangat jaga kesehatan, jangan bosan untuk mengedukasi masyarakat,” pesannya.
Di balik banyaknya duka yang dihadapi selama pandemi, para ‘Kartini masa kini’ sebagai lini depan menghadapi pandemi ini senang bisa merawat pasien. Uchi mengaku tak ada kebahagiaan lain yang dirasakan saat pasien dinyatakan sembuh dan kembali bersua di rumah bersama keluarga. (ap)
Laporan: Adi Pranata