Oleh: Drs. H. Anwar Hafid, M.Si (Anggota Komisi II DPR RI)
SETIDAKNYA ada tiga argumentasi, mengapa saya harus menolak wacana penyatuan pemilu nasional dan Pilkada serentak tahun 2024. Pertama, bagi saya dalam bernegara asas kemanusian adalah hal yang sangat penting bagi pertimbangan dalam mengambil keputusan.
Karena itu, apakah pihak-pihak yang menyampaikan penyatuan pemilu nasional 2024 dan pemilihan kepala daerah, tidak mempertimbangkan fenomena pemilu 2019 dimana ada 894 petugas penyelenggara pemilu yang meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit. Hanya karena kelelahan akibat proses pemilu Nasional serentak dengan 5 kertas suara yakni Calon Presiden, Calon DPRRI, DPD, Calon DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten kota.
Mulai dari proses pencalonan, kampanye, sampai dengan tahapan rekapitulasi dan perhitungan suara bukan hal yang mudah. Aspek-aspek teknis untuk pemilu serentak legislatif nasional dan lokal yang di satukan dengan pemilihan presiden tahun 2019 telah mengajarkan kita semua ‘berpesta demokrasi ditengah korban jiwa para penyelenggara’ dan itu secara tegas harus kita akui bersama adalah ‘aib demokrasi’ yang kita lakukan secara bersama-sama.
Apalagi, kini kita akan menambahkan pemilihan kepala daerah serentak yakni Kabupaten dan Provinsi, saya tidak membayangkan bagaimana kacaunya proses pemilu yang akan kita hadapi jika ide penyatuan pemilu nasional dan lokal 2024 benar-benar terjadi.
Kedua, jelas sekali wacana penyatuan rezim pemilu 2024 dan menarik pemilihan kepala daerah 2022 dan 2023 secara serentak dengan rezim pemilu nasional akan membuat kebingungan pemilih. Pada banyak kasus yang saya amati, misalnya pada pemilihan legislatif begitu banyak pemilih yang bingung akan memilih calon anggota legislative mereka antara pemilihan kabupaten/kota, provinsi atau nasional.
Bahkan pada konteks yang lebih sederhana yakni pemilihan kepala daerah, seperti antara memilih bupati dan gubernur tidak jarang pemilih mengalami kebingungan pada saat di bilik suara antara kertas suara calon bupati dan calon gubernur.
Apalagi, kini kita ingin menyatukan secara serentak dengan memasukan pemilihan kepala daerah 2022,2023 sekaligus dengan waktu pemilu 2024 sudah hampir pasti pemilih benar-benar akan kacau. Pada level tertentu, kondisi pemaksaan ini akan sangat mempengaruhi kualitas demokrasi kita. Karena kita hanya menghadirkan partisipasi tanpa esensi yakni para calon yang secara esensial dimengerti gagasan, program mereka kepada pemilih secara langsung.
Ketiga, sebagai konsekuensi dari wacana akan menyatukan pemilu lokal pada tahun 2022, 2023 dan menariknya mundur disatukan pada tahun 2024 akan menimbulkan kekosongan jabatan kepala daerah yang terlalu lama.
Sebagai mantan bupati, saya cukup paham bagaimana kondisi daerah yang dipimpin oleh pejabat pelaksana ataupun pelaksana tugas yang ditarik dari kalangan birokrasi.
Situasi objektif yang akan terjadi jika daerah terlalu lama dipimpin oleh para PJ dan PLT yakni instabilitas pemerintahan, sosial dan politik yang disebabkan ‘kewenangan dan kepercayaan’ atas para pelaksana tugas itu begitu rendah dimata publik itu sendiri.
Mengapa? Karena, mereka tidak lahir dari proses pemilu yang dipilih oleh rakyat secara luas. Social trust PJ dan PLT tidak memiliki kekuatan yang besar dimata publik dan kalangan birokrasi yang ada dipemerintahan itu sendiri, menyebabkan banyak keputusan penting akan terhambat dan berujung pada upaya pencapaian program pemerintahan tidak bisa berjalan optimal. (×)
*Tulisan diluar tanggungjawab redaksi