Tutup
Nasional

Pengusaha soal PSBB Anies Larang Dine In: Mematikan Kami

×

Pengusaha soal PSBB Anies Larang Dine In: Mematikan Kami

Sebarkan artikel ini
Pengusaha menilai kebijakan PSBB total Gubernur DKI Anies Baswedan yang melarang restoran melayani makan di tempat bisa menggerus omzet hingga 50 persen. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono).

Jakarta, Kabar Selebes — Pengusaha restoran dan rumah makan mengibaratkan kebijakan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang tidak mengizinkan pengunjung makan di tempat (dine in) saat pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Total seperti mematikan bisnis restoran.

Hal ini diyakini menggerus omzet bisnis restoran. Pasalnya, Ketua Pengembangan Restoran Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Susanty Widjaya menuturkan kontribusi terbesar bagi sebuah restoran adalah pendapatan dari pengunjung yang makan di tempat.

Advertising

Kontribusi ini biasanya lebih besar ketimbang pendapatan dari layanan pesan antar (delivery) dan pesanan dibawa pulang (take away).

“Padahal, kemarin ini kami sudah semangat karena bisa terima pengunjung lagi, bahkan ada yang buka cabang lagi karena sudah PSBB transisi, ternyata sekarang PSBB total. Kalau buka tapi no dine in, itu sama saja mematikan kami, membunuh secara perlahan” ungkap Susanty kepada CNNIndonesia.com, Jumat (5/6). 

Lebih lanjut, Susan memperkirakan pendapatan atau omzet bakal jatuh hingga 50 persen di PSBB Total dari masa PSBB transisi beberapa waktu lalu. Proyeksi ini muncul karena kebijakan yang diterapkan mirip dengan PSBB masa awal pada April 2020 lalu.

Pada saat itu, penurunan omzet pengusaha restoran mencapai 70 persen dari kondisi normal sebelum pandemi virus corona atau covid-19.

Namun, ketika masa PSBB transisi dilakukan omzet para pengusaha sempat meningkat sekitar 10 persen sampai 20 persen atau setidaknya sudah berada di kisaran turun 50 persen dari kondisi normal. 

Karenanya, ia memperkirakan ketika PSBB Total diberlakukan lagi, maka penurunan omzet akan mencapai 50 persen dari masa transisi PSBB. 

“Kalau sudah tidak ada dine in, itu sales (penjualan) sudah pasti drop, mungkin bisa seperti saat PSBB awal dulu (pada April 2020) turun 70 persen, lalu naik sekitar 20 persen di PSBB transisi, jadi nanti di PSBB total mungkin berkurang setengahnya dari masa PSBB transisi,” terang dia.

Implikasi lain, sambung dia, akan terasa ke biaya operasional dan nasib pegawai. Biaya operasional dipastikan tak efektif karena pengusaha harus membayar listrik seperti penggunaan normal, padahal hanya melayani delivery dan take away. 

Begitu juga dengan biaya operasional untuk stok bahan makanan dan produksi. “Bahan-bahan kemarin sudah terlanjur kami stok, nanti bisa tidak terpakai penuh,” jelasnya.

Sementara untuk pegawai, ia memperkirakan para pengusaha mau tidak mau akan kembali mengurangi jumlah pegawai. Sebab, kebutuhan pegawai untuk layanan delivery dan take away akan lebih sedikit daripada saat ada layanan dine in. 

“Tentu ada pengurangan lagi, padahal kemarin baru kami pekerjakan lagi yang sebelumnya tidak. Dari kampung-kampung kami panggil, ada yang WA (pesan Whastapp) juga tanya dan minta kembali, sekarang tidak bisa kami panggil lagi,” ujarnya. 

Di sisi lain, Susan mengeluhkan kebijakan Anies yang belum rinci. Misalnya, soal jam operasional restoran belum disebutkan. Hal ini akan mempersulit pengusaha dan pengelola restoran dalam menentukan operasional ke depan. 

“Jam buka tadi tidak di-mention ya, kita tuh dibuat bingung saja. Setengah-setengah,” keluhnya. 

Sementara Wakil Ketua Umum PHRI Maulana Yusran meminta pemerintah turut berbagi beban dengan pengusaha. Misalnya, ketika restoran tak bisa beroperasi penuh, maka pungutan pajaknya juga ditunda dulu. 

Menurutnya, ketentuan dari pemerintah pusat memang sudah ada, tapi belum terasa betul implementasinya di lapangan. 

“Bagaimana pun pembatasan akan turunkan omzet. Apalagi, kalau bicara restoran yang tidak boleh dine in, hanya boleh take away. Maka konsekuensinya, harus ada tanggung jawab pemerintah juga, jangan bebankan ke kami saja, istilahnya sharing the pain,” kata Maulana. 

Begitu juga dengan kebijakan listrik. Menurutnya, insentif memang sudah ada, tapi dibutuhkan kebijakan lain, misalnya naik turun daya secara mudah dari PT PLN (Persero). (fma)

Sumber : CNNIndonesia.com

Silakan komentar Anda Disini….