Jakarta, Kabar Selebes — Indonesian Corruption Watch (ICW) menduga pemerintah menggelontorkan anggaran Rp90,45 miliar untuk jasa influencer, baik individu atau kelompok, dengan tujuan mempengaruhi opini publik terkait kebijakan.
ICW mendapat temuan tersebut dengan menelusuri Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Anggaran-anggaran itu dikeluarkan oleh sejumlah kementerian sejak 2017 sampai tahun ini.
Lembaga negara yang disebut memakai jasa influencer antara lain, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Perhubungan, hingga Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah mengkritik kebijakan pemerintah pusat yang diduga menyewa para influencer tersebut.
Menurutnya, para pemberi pengaruh yang diduga dibayar negara itu tak banyak dengan paham kebijakan yang mereka sampaikan ke masyarakat.
“Pemerintah menyewa influencer yang sebenarnya tidak paham juga isi materi yang dibicarakan. Jadi gimana mau mengedukasi?” kata Trubus kepada CNNIndonesia.com, Jumat (21/8).
Trubus mengatakan influencer harus paham dengan kebijakan pemerintah yang mereka sampaikan kepada publik. Dengan demikian, informasi tersebut bisa tepat sasaran dan berjalan efektif.
Namun, katanya, kebijakan bisa ditafsirkan berbeda-beda oleh masyarakat jika pemberi pesan tersebut tak mengerti 100 persen apa yang disampaikan. Menurut Trubus, sebuah kebijakan seharusnya tak mengandung multitafsir.
“Ini uang negara, buang-buang anggaran jadinya. Pemborosan. Jadi banyak informasi yang menyesatkan karena kan masyarakat jadi bingung. Kebijakan itu tidak boleh multitafsir,” ujarnya.
Tak Percaya Diri
Selain itu, Trubus menyebut pemerintah juga seperti tak percaya diri dengan kebijakan yang dikeluarkan sehingga memakai jasa influencer. Seharusnya pemerintah memaksimalkan perangkat yang sudah dimiliki dari pusat hingga daerah.
“Tapi karena kurang percaya diri terus akhirnya menggunakan jasa influencer, yang sebenarnya juga banyak yang tidak paham dengan materi,” katanya.
Trubus menyarankan agar pemerintah sebaiknya bekerja sama dengan para akademisi jika tak percaya diri atas kebijakan-kebijakan yang diambil. Menurutnya, akademisi biasanya lebih paham dengan kebijakan atau program pemerintah.
“Saya pernah bilang kenapa tidak melibatkan akademisi daripada artis atau influencer, atau mahasiswa baru lulus juga bisa diminta terjun ke bawah, ini juga sekaligus memberikan pekerjaan,” ujarnya.
Sementara, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio mengatakan sangat berbahaya jika pemerintah menyewa jasa influencer yang tak paham dengan materi yang disampaikan. Ia pun mencontohkan promosi RUU Cipta Kerja yang dilakukan sejumlah selebritas dan influencer.
“Ini seperti Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja kemarin, itu harus diusut lebih lanjut. Kejar, mereka mengerti tidak,” kata Agus.
Agus menyebut masyarakat berpotensi percaya 100 persen dengan apa yang dipaparkan oleh influencer karena mereka adalah public figure. Menurutnya, pesan para influencer juga bisa menyesatkan jika yang disampaikan adalah informasi yang salah.
“Masalahnya adalah influencer ngomong, nanti politik menyerbu, informasi jadi ke mana-mana, malah jadi sesat karena masyarakat tidak tahu,” ujarnya.
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate mempertanyakan hasil temuan ICW bahwa pemerintah, termasuk Kementerian Komunikasi dan Informatika, membayar jasa influencer sepanjang 2017 sampai hari ini.
“Saya juga belum tahu apa sebenarnya yang dimaksud oleh rekan-rekan ICW,” kata Johnny ketika dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (21/8).
Johnny mengakui kementeriannya pada 2018 lalu memiliki program coaching clinic untuk Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD). Ini merupakan bagian dari program Siberkreasi di Kemenkominfo. Namun, menurutnya, program tersebut bukan untuk membiayai para influencer tetapi pelatihan bagi yang berminat menjadi influencer. (fma)
Sumber : CNNIndonesia.com