Tutup
Nasional

Suara Korban, Suara Tuhan di Kasus Pelecehan Seksual

542
×

Suara Korban, Suara Tuhan di Kasus Pelecehan Seksual

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi. (Foto: Istockphoto/Favor_of_God)

Jakarta, Kabar Selebes — Di sebuah diskusi tentang Urgensi Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, seorang peserta bertanya: “Mengapa korban memilih bersuara di media sosial?”

Dalam dua minggu terakhir, korban-korban kekerasan seksual memang bersuara lewat medium tersebut, mulai dari kasus pelecehan seksual fetish kain jarik, dosen swinger, Youtuber Turah dan terakhir  kasus perkosaan di daerah Bintaro.

Pertanyaan ini relevan diajukan mengingat tersumbatnya penegakan hukum kasus kekerasan seksual. Lebih jauh lagi, relevan dengan penundaan pembahasan RUU P-KS dan substansi yang ditawarkannya.

Dalam catatan Komnas Perempuan sepanjang 2011-2019, terdokumentasi 46.698 kasus kekerasan seksual, baik di ranah personal maupun publik. Bentuk kekerasan seksual pun beragam. Dari perkosaan, pencabulan, pelecehan nonfisik, eksploitasi seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemaksaan pelacuran, penyiksaan seksual sampai perbudakan seksual.

Idealnya sebagai negara hukum, korban berhak mendapatkan keadilan, kebenaran dan pemulihan dari kekerasan seksual yang menimpanya. Saat menunggu pengesahan RUU PKS (2016-2019) terdapat 21.605 kasus. Namun, hanya 29 persen yang diproses kepolisian dan hanya 22 persen yang diputus pengadilan.

Apakah ini menunjukkan sistem hukum yang buruk dalam penanganan kasus kekerasan seksual?

Ada tiga isu utama dalam penanganan hukum dalam hal ini yaitu peraturan, aparat penegak hukum dan budaya hukum. Jika kita lihat substansi peraturan perundang-undangan, KUHP hanya mengenal dua bentuk kekerasan seksual yaitu perkosaan dan pencabulan atau pelecehan seksual fisik.

Kasus fetish jarik, pelaku ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan melanggar UU ITE yaitu terkait dengan aktivitas elektronik dan konten berisi pengancaman, ancaman kekerasan atau menakut-nakuti. Pelecehan seksual non fisiknya sendiri tidak dapat dijerat hukum.

Gilang Aprilian Nugraha Pratama, terduga pelaku pelecehan seksual 'bungkus kain jarik', telah ditetapkan sebagai tersangka. Namum pasal yang disangkakan padanya tak berkaitan dengan tindak asusila.
Barang bukti dalam kasus Gilang bungkus kain jarik. (Foto: CNN Indonesia/ Farid)

Penggunaan UU ITE

Penggunaan UU ITE menjadi semacam ijtihad untuk menangani kasus ini, karena ketiadaan aturan hukumnya.

Hal ini serupa dengan pelecehan seksual dengan mengintip di Starbucks, polisi hanya menetapkan D sebagai tersangka karena mengunggah video ketika rekannya mengintip sehingga menjadi viral. KH yang mengintip tidak ditetapkan sebagai tersangka.

Kembali, penegakan hukum tersendat karena ketiadaan aturan hukum yang dapat menjerat pelecehan seksual non-fisik. Seperti: mengintip memamerkan alat kelamin, menguntit, mengucapkan kata kata yang merendahkan atau membicarakan aktivitas seksual, mengajak berhubungan seksual eksplisit atau implisit.

Padahal dalam kenyataannya, korban yang kebanyakan perempuan merasa terancam, terhina, direndahkan martabatnya akibat perilaku seksual yang tidak diinginkannya.

Demikian halnya korban-korban dosen swinger yang mengalami pendekatan untuk memperdayai (grooming), pelecehan seksual nonfisik, sexting, juga penggunaan foto perempuan untuk memanipulasi target korban, akan dijerat menggunakan ketentuan yang mana?

Memang dapat dipreteli satu per satu, dan dapat saja menggunakan Pasal 281 (2) KUHP yaitu bertentangan dengan kehendak yang melanggar kesusilaan. Namun ketentuan ini lebih mengedepankan pelanggaran kesopanan, bukan serangan terhadap tubuh dan martabat korban.

Kekosongan hukum dalam pelecehan seksual non-fisik, coba diisi melalui RUU PKS (2017) yang menawarkan pelecehan seksual sebagai:

Kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk tindakan fisik atau nonfisik kepada orang lain, yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait hasrat seksual, sehingga mengakibatkan orang lain terintimidasi, terhina, direndahkan, atau dipermalukan”, untuk ditetapkan sebagai tindak pidana.

Perumusan secara jelas dalam aturan hukum diharapkan membantu aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus pelecehan seksual yang semakin berkembang dan kompleks.

Bagaimana dengan kasus Bintaro? Korban diperkosa pada 13 Agustus 2019, dan polisi baru menangkap pelaku pada 9 Agustus 2020, itu pun setelah dua hari sebelumnya korban menuliskan kekecewaannya di media sosial dan menjadi viral.

Untuk kasus ini, kita memiliki aturan hukumnya yaitu perkosaan dalam Pasal 285 KUHP. Namun, mengapa harus menunggu setahun?

Tidak hanya AF yang mengalami penundaan berlarut, tidak sedikit kasus mengalaminya bahkan dihentikan penyidikannya. Salah satu alasan yang kerap disampaikan adalah kurang cukup bukti.

Kekhawatiran kurang cukup bukti inilah yang disampaikan AF, walau korban memiliki ia sendiri sebagai saksi korban, visum dan rekam medik, serta petunjuk berupa CCTV dan pesan pelaku ke IG-nya.

Terkait pembuktian, ketentuan dalam Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) seringkali dibaca parsial yaitu keterangan korban saja tidak dapat menjadi alat bukti yang sah sebagai keterangan saksi.

Saksi yang dihadirkan selain korban haruslah yang melihat dan mengetahui sebuah peristiwa.

Sebagaimana kita ketahui, kekerasan seksual terjadi tanpa ada saksi yang melihat langsung, korban juga cenderung enggan menceritakan kepada orang lain. Ketika korban melaporkan kasus perkosaan, maka ada pertanyaan baik dari korban sendiri maupun aparat penegak hukum: “Apa buktinya?”.

Kerap kali, korban diberikan beban pembuktian bahwa ia benar-benar diperkosa, karenanya harus mempersiapkan saksi-saksi atau barang bukti yang mendukung laporannya.

Hal ini menyebabkan korban tertekan dan menambah penderitaannya kembali. Padahal secara hukum beban pembuktian bukanlah kewajiban korban, melainkan aparat penegak hukum.

Pengalaman penanganan kasus kekerasan seksual yang terhambat karena sistem pembuktian ini coba diatasi oleh RUU PKS yang menegaskan bahwa keterangan korban adalah alat bukti yang sah dan ditambah satu alat bukti lainnya sudah cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa.

Selain itu, ditawarkan tambahan alat bukti lainnya seperti surat keterangan psikolog dan/atau psikiater, rekam medis dan/atau hasil pemeriksaan forensik, informasi elektronik dan pemeriksaan rekening bank.

Terakhir, yang tak kalah penting adalah budaya hukum kita dalam menilai kekerasan seksual. Korban masih dipersalahkan dan dianggap bertanggungjawab atas kekerasan seksual yang menimpanya.

Cara pandang ini menyebabkan kekerasan seksual tidak dianggap penting ketimbang kasus lainnya dan korban mengalami proses menjadi ‘korban kedua kalinya’ ketika menempuh jalur hukum.

Ilustrasi Twitter, Rabu, 27 November 2019. Layanan jejaring sosial berlogo burung biru ini dikabarkan akan menghapus akun yang sudah tak aktif selama lebih dari enam bulan mulai 11 Desember. CNN Indonesia/Bisma Septalisma
lustrasi Twitter. (Foto: CNN Indonesia/Bisma Septalisma)

Ruang Juang Media Sosial

Atas pertanyaan di atas, saya menjawab bahwa apa yang dilakukan oleh para korban dengan bersuara di media sosial dikarenakan: pertama, akses keadilan terhambat atau tidak dipenuhi melalui sistem hukum yang tidak berpihak pada korban.

Kedua, adanya kesadaran bahaya bentuk kekerasan seksual, sebagai kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Ketiga, menjadi media membangun kesadaran publik, termasuk terhadap yang masih berpikir kekerasan seksual adalah kesalahan korban. Dengan bersuara, tidak sedikit akses keadilan untuk korban terbuka, namun tidak sedikit pula korban yang mendapatkan keadilan tanpa bersuara di media sosial.

Dari pembelajaran kasus-kasus di atas, saya berpendapat bahwa dunia maya menjadi ruang juang untuk korban menyuarakan haknya atas keadilan, kebenaran dan pemulihan. Walau tetap korban harus mendapatkan pendampingan psikologis dan bantuan hukum sebelum memutuskan bersuara.

Suara-suara korban ini seharusnya menjadi perhatian negara untuk segera mengesahkan RUU PKS, yang diharapkan menjawab persoalan sistem hukum yang tidak berpihak pada korban kekerasan seksual.

Karena, suara korban adalah suara Tuhan. (fma)

Sumber : CNNIndonesia.com

Silakan komentar Anda Disini….