Tutup
Nasional

Menanti Jurus Jokowi Hadapi 100 Ribu Kasus Corona

×

Menanti Jurus Jokowi Hadapi 100 Ribu Kasus Corona

Sebarkan artikel ini
Presiden Jokowi didorong meningkatkan cakupan testing dan penegakan sanksi terhadap warga yang abai menaati protokol kesehatan. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Jakarta, Kabar Selebes — Jumlah kumulatif kasus virus corona (covid-19) di Indonesia tembus 100 ribu pada Senin (27/7). Jumlah ini melesat dalam waktu lima bulan sejak penemuan kasus covid-19 pertama awal Maret 2020.

Kondisi dinilai makin parah dengan penambahan zona merah atau risiko penularan tinggi covid-19 di sejumlah wilayah. Semula hanya 35 daerah yang termasuk zona merah, namun pekan ini jumlahnya bertambah menjadi 53 wilayah. Jawa Timur menjadi provinsi dengan wilayah zona merah terbanyak yakni sembilan kabupaten/kota.

Advertising

Dalam menghadapi pandemi covid-19, Presiden Joko Widodo menetapkan sejumlah kebijakan untuk mengatasi persebaran covid-19. Mulai dari penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), pembatasan orang bepergian, hingga mulai adaptasi kebiasaan baru di tengah lonjakan kasus.

Belakangan, Jokowi juga menekankan upaya 3T yakni testing, tracing, dan treatment. Ia menargetkan testing spesimen covid-19 menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat mencapai 30 ribu per hari. Bahkan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 saat itu sempat menyampaikan target testing 50 ribu per hari.

Ahli epidemiologi Universitas Airlangga Surabaya, Windhu Purnomo mengatakan strategi utama dalam pengendalian kasus covid-19 memang melalui testing sebanyak-banyaknya.

Menurutnya testing juga menjadi upaya paling penting dalam penemuan kasus atau case finding menghadapi wabah. Dengan testing, kasus covid-19 di Indonesia akan semakin terdeteksi.

Meski demikian, jumlah testing di Indonesia saat ini terbilang masih sangat sedikit. Sesuai standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) jumlah testing minimal adalah 1 persen dari jumlah penduduk. Apabila jumlah penduduk Indonesia 267 juta, maka jumlah orang yang menjalani tes setidaknya mencapai 2,67 juta.

“Tapi 100 ribu kasus itu diperoleh dari testing sekitar 800 ribu. Sedangkan sesuai standar yang harus dites 2,67 juta. Artinya kita masih harus mengejar tiga kali lipat lebih,” ujar Windhu saat dihubungi, Selasa (28/7).

Selain testing, pemerintah juga harus melacak secara agresif orang-orang yang diduga terpapar untuk menemukan klaster penularan. Orang-orang yang masuk dalam klaster penularan ini harus menjalani isolasi dengan pengawasan ketat.

“Jadi sebenarnya sudah benar itu pakai 3T. Tapi ya jangan hanya diomongkan,” katanya.

Windhu juga meminta pemerintah kembali memperketat pergerakan orang, mengingat jumlah wilayah yang masuk zona merah bertambah. Menurutnya, penambahan zona merah ini tak lepas dari pelonggaran PSBB.

“Kok bisa merah lagi karena ada pergerakan daerah merah ke daerah sekitarnya. Virus ini kan dibawa orang, nggak bisa terbang sendiri. Jadi kalau orang bergerak, virus ikut, akan nulari ke tempat dia datang,” terangnya.

Untuk itu, ia mendesak pemerintah membuat kebijakan yang lebih tegas khususnya terkait pergerakan orang. Kalau masih ada daerah merah dan kita melonggarkan, tidak ada pembatasan, maka penularan masih akan terus terjadi,” imbuh Windhu.

Upaya lain yang harus dilakukan pemerintah, lanjut Windhu, adalah pendisiplinan warga. Saat ini masih banyak warga yang tak patuh pada protokol kesehatan seperti memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak dari kerumunan.

Jokowi sebelumnya sempat menyampaikan akan menerbitkan Instruksi Presiden terkait penerapan sanksi bagi warga yang tak patuh pada protokol kesehatan. Namun hingga saat ini belum ada perkembangan lebih lanjut terkait aturan tersebut.

Windhu pun menilai memang diperlukan sanksi tegas bagi warga yang tak patuh pada protokol tersebut. Sanksi juga harus diberikan pada pengelola tempat yang membiarkan munculnya kerumunan.

“Misal di mal ada kerumunan, pengelola juga harus disanksi sehingga lebih tegas. Kalau nggak ada ketegasan, jadinya ya ambyar begini,” ucap Windhu.

Hal serupa disampaikan ahli epidemiologi Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono yang mendorong pemerintah untuk memperbanyak testing. Idealnya, semakin banyak testing maka akan semakin banyak kasus yang terdeteksi.

Hanya saja, menurutnya, pemerintah saat ini masih terkendala dengan keterbatasan lab yang digunakan untuk mengetes spesimen. Semestinya tiap kabupaten memiliki lab dengan standar Biosafety Level 2 dan mesin PCR.

“Di kabupaten-kabupaten ini labnya minim sekali. Apalagi kabupaten yang jauh dari kota. Ini yang harus diupayakan,” katanya.

Selain testing, Miko juga mendorong pengawasan ketat pada pasien covid-19 yang menjalani isolasi mandiri. Sebab, banyak kasus pasien covid-19 yang kabur saat menjalani isolasi. Hal ini tak lepas dari minimnya pengawasan pada pasien-pasien tersebut.

Menurutnya, pemerintah dapat segera menerapkan sanksi seperti denda bukan hanya bagi warga yang tak mengenakan masker tapi juga pasien yang kabur. Alih-alih menyalahkan warga, Miko menegaskan bahwa kepatuhan warga tetap menjadi tanggung jawab pemerintah.

Ia juga mengingatkan agar pemerintah dapat kembali menerapkan PSBB untuk menekan penularan.

“Presiden jangan ambil kebijakan yang salah. Kalau ini enggak dilakukan apa-apa, ya akan terus seperti ini sampai vaksin bisa ditemukan,” ucapnya. (fma)

Sumber : CNNIndonesia.com

Silakan komentar Anda Disini….