“Sudah biasa pak. Kalau ke Dongi-dongi cuman jarak saja yang jauh. Ada lagi rumah siswa kita tidak terlalu jauh dari sekolah, tapi medannya ekstrim karena jalannya rusak,” ungkap Bungaria, Rabu (22/7/2020).
Meski merasa kurang efektif dengan sistem pembelajaran seperti itu, keterbatasan sarana dan prasarana yang dimiliki guru maupun siswa untuk melakukan kegiatan belajar mengajar secara daring memaksa meraka menerapkan hal itu. Terlebih, tak ada satupun jaringan provider yang menjangkau wilayah itu.

“Sangat tidak efektif sistem seperti ini. Tadi saja ada yang bertanya, ibu bagaimana menjawab soal ini. Karena mematuhi protokol kesehatan, terpaksa hanya sepintas saya jelaskan. Ada di materi itu jawabannya nak. Kami tidak diperbolehkan untuk bertatap muka langsung secara lama dengan murid kami.” tuturnya mengungkapkan pertanyaan siswanya.
Perjuangan tak hanya dirasakan Bungaria. Nolin siswi kelas 9 SMPN 16 Sigi turut merasa seperti apa perjuangan agar dapat mengikuti sistem Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di tengah Pandemi Covid-19. Acap kali ia, harus menempuh jarak sekitar 3 kilometer demi memperoleh jaringan telekomunikasi saat pembelajaran daring pertama kali diberlakukan.
Bahkan, setiap bulannya orang tua Nolin yang hanya bekerja sebagai petani harus merogoh kocek Rp100 ribu demi membeli pulsa data internet. Diakui gadis belia ini, sudah Rp500 ribu biaya yang dikeluarkan selama mengikuti proses belajar daring.
Halaman Berikutnya >>>>>