SIGI, Kabar Selebes – Suharni (54 tahun) menatap lekat tanaman seladanya yang mulai tumbuh subur pada sebidang modul. Sesekali Ia mengangkat tanaman itu yang ditempatkan pada modul yang telah diberi lubang.
“Orang bilang kalau sudah 20 hari sudah bisa di Panen,” kata Suharni Sabtu (4/7/2020), yang mengaku tak sabar menunggu hasil panen.
Pada sebuah modul yang luasnya 2,5 x 5 Meter tersebut, tampak tumbuh subur 160 tanaman selada yang Suharni rawat dari satu minggu yang lalu.
Belakangan, Suharni mengaku rajin mengawasi tanaman Hidroponiknya yang berlokasi tak jauh dari tempat tinggalnya. “Sesekali lihat air apakah sudah perlu diganti atau tidak,” ucapnya.
Suharni merupakan penyintas asal desa lolu, Kabupaten Sigi, yang tengah bermukim di Huntara di desa Pombewe. Ia mau tak mau memilih tinggal di Huntara yang telah disediakan, sebab rumahnya hancur oleh bencana likuefaksi 28 September 2018.
Di bilik hunian sementara yang berukuran 4×3 Meter itu, Suharni tinggal bersama 4 orang anaknya beserta suami yang tidak lagi bisa bekerja sebab kehilangan penglihatannya.
Dengan kondisi demikian, mau tidak mau Sebagai Ibu rumah tangga, Suharni juga berperan sebagai kepala keluarga. Karena punya tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan keluarga, Suharni akhirnya memilih untuk belajar budidaya Hidroponik.
Bagi Suharni, budi daya Hidroponik merupakan pengalaman baru dalam hidupnya. Ia bukan tak pernah bercocok tanam, sebelum bencana terjadi, ia merupakan seorang petani di desa Lolu. “Selain itu biasa dipanggil berkebun sama orang jawa yang bertani di desa” Ungkapnya.
Suharni mengaku bersyukur, bisa kembali bercocok tanam dengan harapan hasil panen mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. “Ya semoga saja ini terus berlanjut, apa cuma ini yang diharap kasian,” katanya.
Khaerudin Juga merasakan hal demikian, di ruangan yang berbeda dengan lihai ia memainkan pisau memilah tiap jengkal “Rockwoll” yang digunakan sebagai media tanam budi daya hidroponik.
Sebagai warga yang baru pertama kali mengikuti pelatihan budi daya Hidroponik, Khaerudin nampak antusias untuk menanam benih selada yang telah disediakan.
Sebelumnya, Khaerudin merupakan petani di desa Jono Oge yang juga terdampak bencana likuefaksi 2018 silam. Ia tidak lagi dapat berkebun selepas bencana, sebab lahanya telah hancur.
Khaerudin mengaku penasaran, sampai akhirnya turut serta mengikuti pelatihan budi daya hidroponik. Rasa penasarannya ditambah lagi dengan semangat untuk memenuhi kehidupan, belajar dari masyarakat lain yang telah terberdaya “Saya ingin mencoba dan tentunya menambah Ilmu,” ucapnya.
Suharni dan Khaerudin merupakan 2 dari 160 masyarakat penyintas Penerima manfaat budidaya Hidroponik oleh Yayasan Dompet Dhuafa. Metode ini diterapkan mengingat mayoritas penyintas di desa Sigi sebelumnya bertani untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Irul selaku Fasilitator di Yayasan Dompet Dhuafa mengatakan, dari 160 peserta penyintas di Desa Pombewe, akan dibagi melalui dua tahap pelatihan “37 Gelombang pertama dan 123 gelombang kedua,” katanya.
Budidaya Hidroponik sebagai program pemberdayaan penyintas, berpotensi sebagai salah satu mata pencaharian khsususnya bagi masyarakat di sekitar desa Pombewe.
Selain itu kata Irul, faktor lain disebabkan oleh sarana dan prasarana yang kurang memadai menggunakan metode bertani seperti pada umumnya. “Mulai dari air yang kurang, ditambah masyarakat yang kekurangan lahan,” ucapnya.
Dengan keadaan demikian budidaya hidroponik cukup efisien diterapkan mengingat penggunaan lahan dan air yang lebih efisien.
Yayasan Dompet Dhuafa sebagai pemberdaya masayarakat berharap, dengan adanya upaya ini penyintas dapat terberdaya dan tentunya bisa hidup lebih mandiri pasca bencana. (ap/fma)
Laporan: Adi Pranata