Oleh : Sarifah Latowa
SIANG itu, Selasa, 7 Januari 2020 cuaca Kota Palu sedikit mendung, Intan (bukan nama asli) sedang duduk sambil memeluk anaknya yang baru berusia lima bulan, di depan hunian sementara yang berukuran 3×4 meter, di wilayah Palu Utara.
Sesekali tangannya mengelus-elus kepala putrinya sembari mengajak bercanda. Anaknya pun terkekeh merespon candaan sang ibu.
Intan menikah satu bulan pascabencana gempa, tsunami dan likuefaksi 28 September 2018. Ketika itu ia baru berusia 17 tahun, ia menikah dengan teman sebayanya.
“Saya menikah muda itu keinginan saya sendiri, karena saya tidak enak dicerita-cerita orang kalau saya keluar rumah dengan pacarku, yang sekarang sudah jadi suamiku,” ucap Intan.
Ia mengaku merasa nyaman dan aman pasca menikah, pasalnya sebelum menikah dirinya menjadi korban pelecehan seksual oleh ayah tirinya.
“Saya menjadi korban pelecehan sejak kelas enam Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas, “bebernya.
Usai mengungkapkan hal itu, Intan sempat terdiam sejenak, sambil menghela nafas panjang, lalu kembali melanjutkan kisahnya.
“Saat saya dilecehkan, mamaku juga ada disitu, tapi mamaku cuma badiam karena dia takut juga sama papa tiriku. Soitu lebih baik saya cepat menikah,” ujarnya lirih.
Alasan lain yang membuat Intan harus segera menikah, karena telah hamil di luar nikah, kehamilannya saat itu sudah berusia 9 bulan.
Tidak lama setelah menikah, Intan pun melahirkan putri cantiknya. Intan menuturkan dia menjalin hubungan dengan teman sebayanya sejak ia duduk di kelas I SMA.
Saat bencana terjadi, rumah orang tua Intan di daerah Palu Utara roboh akibat goncangan gempa bermagnitudo 7,4 SR. Merekapun sempat tinggal di tenda pengungsian, setelah melewati massa transisi.
Saat ini ia bersama sang suami tinggal dirumah mertua.
Meskipun mengaku bahagia setelah menikah, bukan berarti dirinya tidak menghadapi masalah baru dalam rumah tangganya. Salah satunya adalah masalah perekonomian yang kian mencekik.
“Saya senang sudah menikah, tapi kami masih sulit memenuhi kebutuhan makan sehari-hari, popok dan susu anak kami,” ucapnya sambil mengerenyitkan dahinya.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka masih bergantung kepada mertua, orang tua dari suaminya.
Berbeda dengan Ety (bukan nama sebenarnya) yang menikah karena keterpaksaan, ia menikah pada Januari 2019, saat dirinya baru berusia 16 tahun.
Ia menikah dengan seorang pemuda sebayanya. Karena sudah sering dipergoki ketemuan, akhirnya orang tuanya memutuskan agar segera menikahkan mereka.
“Mau tidak mau harus menikah, orang tua sudah suruh menikah. Saya terpaksa putus sekolah ketika duduk di kelas tiga sekolah menengah pertama,” ujarnya.
Setelah gempa mengguncang, Ety selama beberapa minggu tinggal di tenda pengungsian di wilayah Kabupaten Sigi.
Ibu Ety, Nety (bukan nama sebenarnya), mengatakan dirinya menikahkan anaknya, karena takut nanti anaknya mempermalukan keluarga karena hamil di luar nikah.
“Sudah beberapa kali saya dapat anak saya ini ketemu dengan pacarnya. Daripada nantinya bikin malu keluarga lebih baik cepat dikasih kawin,” ucapnya.
Selain itu, kata Nety, dirinya cepat menikahkan anaknya, takut nanti anaknya menjadi “perawan tua” jika tidak segera dinikahkan.
Korban pernikahan anak, tidak hanya dialami Intan dan Ety melainkan ada sekitar 110 anak lainnya yang juga menikah dibawah umur pascabencana di tiga daerah di Sulawesi Tengah yaitu Palu, Sigi dan Donggala (Pasigala).
Angka itu berdasarkan laporan yang diterima Yayasan Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah (KPKP-ST) lewat Tenda Ramah Perempuan (TRP) sebanyak 66 kasus.
Dari 66 laporan kasus pernikahan usia anak yang di terima KPKP-ST di 6 titik TRP masing-masing 6 kasus terjadi di Palu, Sigi 29 kasus dan Donggala 31 kasus.
Sementara Perkumpulan Lingkar Belajar untuk Perempuan (LIBU) mencatat ada 44 laporan kasus pernikahan anak pascabencana di Pasigala.
Dari 44 laporan kasus pernikahan anak yang masuk ke Tenda Ramah Perempuan (TRP) yang dikelola LIBU Perempuan masing-masing 24 kasus terjadi di Kota Palu, 3 kasus Donggala dan 17 kasus di Sigi.
Setidaknya ada 110 kasus pernikahan anak yang terjadi di Pasigala pascabencana 28 September 2018. Dari 110 kasus tersebut, Sigi menempati urutan pertama dengan jumlah pernikahan dibawah umur sebanyak 46 kasus, setelah itu Donggala 34 kasus dan Kota Palu 30 kasus.
Dari 110 kasus tersebut 82 diantaranya telah tercatat di Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) dalam kurun waktu Januari hingga Oktober 2019, di Sulawesi Tengah.
Direktur LIBU Sulawesi Tengah, Dewi Rana Amir mengungkapkan, kasus pernikahan anak paling banyak terjadi di Petobo, tempat fenomena likuifaksi terjadi.
“Memang di Petobo ini laporan yang paling banyak, ada 11 orang anak, yang dilaporkan oleh volunteer,” terangnya.
Dewi menuturkan sebagian dari anak perempuan ini menikah dengan pria dewasa, sementara sisanya menikah dengan teman sebayanya.
Salah satu penyebabnya, kata Dewi, adalah faktor keterdesakan ekonomi keluarga, faktor hamil di luar nikah dan juga masih banyak masyarakat yang belum mengetahui revisi UU perkawinan No. 1/1974, bahwa usia minimum nikah bagi laki-laki dan perempuan menjadi 19 tahun.
“Sebagian anak ini dinikahkan oleh orang tuanya dengan alasan desakan ekonomi keluarga, yang kemudian menikahkan anaknya untuk mengurangi beban keluarga,” ujarnya.
Untuk menekan angka pernikahan anak, LIBU melakukan upaya pencegahan dengan melibatkan DP3A, tokoh agama, tokoh adat, orang tua laki-laki maupun perempuan dan anak yang mau dinikahkan.
Jadi, lanjut dia, sebelum pernikahan anak terjadi, pihak LIBU langsung mempertemukan semua pihak yang disebutkan di atas, lalu memberikan pemahaman bahwa menikahkan anak di bawah umur bukan jalan keluar terbaik.
Menikahkan anak khususnya perempuan di bawah umur, kata dia, sangat berpengaruh pada ketidak siapan reproduksi perempuan dan berdampak buruk bagi anak yang dilahirkan nanti.
Jika mendapatkan kasus perempuan dibawah umur yang sudah terlanjur dinikahkan oleh orang tuanya, maka LIBU memberikan pendampingan bagi anak-anak tersebut.
“Upaya pendampingan itu kami lakukan kepada perempuan yang sudah terlanjur dinikahkan oleh orang tuanya saat usianya masih dibawah umur,” tuturnya.
Upaya pencegahan yang dilakukan LIBU perempuan membuahkan hasil, yang tadinya di Petobo dari masa tanggap darurat, transisi darurat dan masuk pada fase awal rehab rekon mereka menerima 11 laporan pernikahan anak. Saat memasuki bulan ketiga dari bulan Oktober hingga Desember 2019 mereka tidak lagi menerima laporan adanya pernikahan anak.
“Artinya ada perubahan drastis setelah dilakukan pencegahan dengan memberikan edukasi kepada masyarakat. Semua ini berkat kerjasama semua pihak. Saya berharap pernihakan anak tidak terjadi lagi di Sulawesi Tengah,” tuturnya.
Mulai saat ini, kata dia, tingkat kesadaran pola asuh anak di dalam suatu komunitas harus mulai dibangun demi menjaga masa depan anak.
Jika merasa anak itu adalah penerus bangsa, lanjut Dewi, maka pengasuhannya pun harus dilakukan secara bersama. Karena, jika masa depan anak rusak yang rugi itu bukan orang tuanya saja, melainkan bangsa kita yang rugi.
“Sebagai contoh, jika di satu komunitas anak si A ditinggal sendiri oleh ayahnya mencari nafkah. Anak tersebut merasa aman ditinggalkan, karena orang di sekitarnya peduli dengannya,” ujarnya.
“Itulah yang saya maksud pola asuh bersama, ada kepedulian dari lingkungan sekitar yang membuat si anak merasa aman dan nyaman, ” tambahnya.
Hal yang sama juga dilakukan Yayasan KPKP-ST, mereka terus melakukan pendampingan kepada anak-anak dan remaja di enam lokasi pengungsian di Kota Palu dan Kabupaten Donggala.
Ketua Yayasan KPKP-ST Soraya Sultan mengatakan, faktor penyebab pernikahan dibawah umur di antaranya karena, faktor hamil di luar nikah, keterdesakan ekonomi dan juga faktor ketakutan orang tua anaknya nanti menjadi perawan tua dan memalukan keluarga jika tidak segera dinikahkan.
Kata Soraya, rata-rata anak-anak ini dinikahkan ketika mereka berusia 15-16 tahun.
Kepala Dinas DP3A Sulawesi Tengah, Ihsan Basir menyebutkan bencana yang menimpa Pasigala selain menimbulkan korban jiwa, juga ikut menambah masalah baru termasuk pernikahan dibawah umur, di kalangan penyintas, baik yang tinggal di huntara maupun di tenda pengungsian.
Pada awal 2019 tahun 2019, kata dia, jumlah perkawinan anak masih relatif kecil karena beberapa perkawinan dilaksanakan “dibawah tangan” sehingga belum semuanya terungkap, akan tetapi, pada Bulan Agustus-Oktober 2019 jumlah pernikahan anak meningkat disebabkan permasalahan ekonomi, lingkungan dan pergaulan bebas.
Dampak Buruk Menikah Dibawah Umur
Kepala Bidang Perlindungan Hak Perempuan dan Perlindungan Khusus Anak DP3A Provinsi Sulteng Sukarti mengatakan, salah satu dampak buruk dari pernikahan anak dibawah umur adalah melahirkan anak stunting (gangguan pertumbuhan pada anak).
Menurutnya, perempuan yang masih usia remaja secara psikologis juga belum memiliki pengetahuan yang cukup untuk menjalani kehamilan yang sehat serta merawat anak.
“Pernikahan dini menjadi salah satu penyebab terjadinya stunting, karena kebanyakan pernikahan dini itu disebabkan kehamilan yang tidak diinginkan, sehingga pertumbuhan janin di dalam kandungan pun tidak bisa optimal,” terangnya.
Untuk menekan angka pernikahan anak Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah, melalui Dinas DP3A terus melakukan sosialisasi revisi Undang-undang perkawinan No. 1/1974, bahwa usia minimum nikah bagi laki-laki dan perempuan menjadi 19 tahun.
Selain itu, pihaknya juga memberikan pendidikan soal bahaya pernikahan dini. Khusus daerah terdampak bencana sosialisasinya melalui tenda Ruang Ramah Perempuan di 12 titik yang ada di Pasigala.
“UU ini mewajibkan pemerintah agar melakukan sosialisasi dan Pendidikan kepada masyarakat tentang berbahayanya perkawinan usia dini,” jelasnya***