Tutup
PelesirSulawesi Tengah

Upacara Malabot Tumbe, Eratkan Tiga Kabupaten Kerajaan Banggai

×

Upacara Malabot Tumbe, Eratkan Tiga Kabupaten Kerajaan Banggai

Sebarkan artikel ini

BANGGAI LAUT, Kabar Selebes – Kegiatan adat dan budaya Malabot Tumbe dipusatkan di Keraton Banggai, Rabu (4/11/2019).

Advertising

Bupati Banggai Laut, Drs H Wenny Bukamo mengatakan bahwa kegiatan ini merekatkan tiga kabupaten bersaudara yaitu Kabupaten Banggai, Kabupaten Banggai Kepulauan dan Kabupaten Banggai Laut.

Pemerintah Kabupaten Banggai Laut melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan mengadakan kegiatan ini selama empat 4 (empat) hari yakni, 4-7 Desember 2019. Pengantaran telur Maleo dari Batui Kabupaten Banggai melewati Desa Pinalong Kabupaten Banggai Kepulauan, lalu ke Teluk Tolo di Kecamatan Labobo, kemudian ke Kabupaten Banggai Laut.

“Kita yang ada saat ini memiliki kewajiban bersama untuk mempertahankan, melestarikan nilai-nilai ini terutama nilai yang merekatkan antara persaudaraan 3 kabupaten ini. Kita bisa berbeda secara administrasi pemerintahan, tetapi secara historis kita memiliki kesamaan, yaitu berasal dari kerajaan Banggai,” ucap Bupati.

Bupati juga menyampaikan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada para perangkat adat yang telah bahu membahu sehingga acara tersebut dapat dilaksanakan dengan baik.

Dikutip dari laman pesonawisata.sultengprov.go.id, Tumpe/Tumbe dalam bahasa Banggai dan Saluan mengandung arti sesuatu yang pertama atau awal. Upacara Penghantaran dan Malabo Tumpe/Tumbe telah menjadi istilah dalam adat Banggai sebagai suatu prosesi penghantaran dan penerimaan Telur Maleo dari masyarakat adat Batui kepada Tomundo Banggai dan Keluarganya di Banggai. Prosesi adat penghantaran dan malabot/menerima Tumpe adalah kebiasaan yang di laksanakan secara turun-temurun dalam kehidupan masyarakat adat local Batui dan Banggai. Telur Maleo belum dapat dinikmati oleh masyarakat adat di Batui sebelum telur tersebut diantarkan kepada keluarganya di Banggai sebagai masyarakat yang memegang teguh amanah leluhurnya.

Bagaimana ceritanya sehingga tradisi ini ada?

Kerajaan Banggai pernah dipimpin oleh raja Adi Cokro atau Adi Soko (penyebutan orang di banggai). Sebagai bangsawan banggai Adi Soko yang mempunyai 3 (tiga) orang istri; yaitu 1) Kastela, wanita berdarah Portugis di Ternate yang darinya lahir Maulana Prince Mandapar; 2) Nur Sapa, Putri raja dari 3 kerajaan kecil bersaudara Matindok, Loa dan Bolak di Batui yang darinya lahir Abu Kasim; 3) Putri bangsawan dari 4 kerajaan kecil di Banggai yang melahirkan Putri Saleh. Hingga saat ini keturunan empat kerajaan di Banggai itulah yang memegang amanah sebagai Basalo Sangkab.

Suatu saat ketika Adi Soko hendak meninggalkan Batui menuju Banggai, mertuanya (Ayah dari istrinya Nur Sapa Raja Matindok di Batui bernama Ali Asine) memberikan hadiah kepadanya berupa sepasang burung Maleo untuk di bawa ke Banggai (di Kabupaten Banggai Laut sekarang).

Selanjutnya karena suatu tugas yang diembannya, Adi Soko berangkat ke jawa bersama anaknya Putri Saleh dengan membawa sepasang Burung Maleo dari batui pemberian mertuanya. Kepergiannya yang cukup lama menyebabkan kekosongan kepemimpinan. Para perangkat kerajaan, pemangku adat dan keturunan dari empat kerajaan kecil di Banggai membuat rapat untuk penggantian/pengangkatan Raja Banggai yang baru pengganti Adi Soko melalui sayembara permainan adu gasing. Dalam sayembara tersebut Putranya bernama Abu Kasim dari hasil perkawinannya dengan Putri Raja di Batui menjadi pemenangnya. Akan tetapi Abu Kasim menolak diangkat menjadi Raja sebelum berkonsultasi kepada ayahnya Adi Soko di tanah Jawa.

Perangkat kerajaan dan pemangku adat kemudian mempersiapkan keberangkatan Abu Kasim ketanah Jawa untuk menemui ayahnya Adi Soko bersama 40 orang bayi dan ayunan sesuai permintaan Abu Kasim.

Sesampai di tanah Jawa berbekal tanda cincin yang di berikan ayahnya, Abu Kasim akhirnya bertemu ayahnya. Dalam pertemuan tersebut Abu Kasim menyampaikan keinginan dari pemangku adat dan masyarakat Banggai. Hasilnya Adi Soko menolak untuk kembali ke Banggai dikarenakan tugas-tugas yang sedang diembangi di Jawa. Adi Soko memberikan petunjuk kepada abu Kasim untuk menemui kakaknya Maulana Prince Mandapar yang berada di Ternate yang menurut Adi Soko adalah Figur yang tepat untuk menjadi Raja Banggai. Ketika Abu Kasim akan kembali Adi Soko menitip adiknya Putri Saleh untuk dibawa ke Banggai dan sepasang burung Maleo untuk di pellihara di Banggai sebagai pembuktian bahwa Abu Kasim telah bertemu Ayahnya di tanah Jawa. Sepasang burung Maleo tersebut dikembalikan karena tidak dapat berkembang biak di tanah Jawa.

Maka berangkatlah Abu Kasim ke Ternate untuk menjemput kakaknya Maulana Price Mandapar. Saat itu Maulana Price Mandapar telah berada di atas kapal bersiap untuk berangkat ke Portugis. Dengan berbekal petunjuk cicin yang sama, Abu Kasim dapat bertemu dan membawa Maulana Price Mandapar ke Banggai.

Sekembalinya Abu Kasim di Banggai dengan membawa adiknya Maulana Prince Mandapar langsung menemui pemangku adat dan perangkat kerajaan Banggai untuk melaporkan hasil perjalanannya sekaligus menyampaikan pesan dari ayahnya Adi Soko. Maka sejak saat itu terjadilah babak baru pemerintahan kerajaan Banggai dengan dikukuhkannya Maulana Prince Mandapar sebagai Raja Banggai.

Sangat disayangkan sepasang burung Maleo titipan Adi Soko dari Jawa tidak dapat hidup baik di Banggai. Abu Kasim membawa sepasang burung Maleo tersebut kepada keluarganya di Batui untuk dikembangbiakkan. Ada sebuah kalimat pesan yang terkirim bersama sepasang burung Maleo tersebut. Pesan yang secara turun-temurun tetap terjaga pada masyarakat adat Batui dan masyarakat Banggai. Bunyi pesannya adalah:

“Kutitipkan sepasang burung Maleo ini kepada keluargaku di Batui untuk dipelihara dan apabila bertelur nanti, telur pertamanya dikirimkan kepada keluargaku di Banggai dan jumlah telur Maleo yang dikirimkan ke Banggai menggambarkan jumlah keluarga di Batui”.

Semenjak burung maleo itu bertelur dan berkembang biak, sejak itu pula upacara adat Tumpe dilaksanakan. Keluarga kerajaan di Batui tetap memegang pesan itu sampai sekarang. Bukankah itu suatu bentuk keteguhan memegang amanah dan upaya untuk menjaga hubungan keluarga antara dua wilayah yang terpisah oleh lautan?

Dua pelajaran pokok upacara Malabot Tumbe

Yang Pertama adalah aspek social kultur, bahwa masyarakat Banggai baik yang berada di kepulauan maupun yang berada di daratan besar sejatinya adalah bersaudara apa yang di rasakan oleh masyarakat di Banggai darat haruslah ikut dirasakan oleh masyarakat Banggi di kepulauan. Semenjak Negara ini ada dan bahkan telah terpisah secara administrative pemerintahan sekalipun. Rela membantu dan menghidupkan saudaranya melalui kebersamaan dan gotong royong berbudaya dan bekerja dan menjaga amanat leluhurnya.

Yang Kedua adalah aspek lingkungan , bahwa pesan tersebut menyatakan bahwa burung Maleo beserta alam pendukungnya haruslah di pelihara dan di jaga agar ia dapat berkembang biak dengan baik dan lestari sepangjang masa yang di tandai dengan semakin bertambahnya keturunan/jumlah penduduk harus sebanding dengan jumlah telur yang di kirimkan. Secara linier dapat disimpulkan bahwa setiap individu masyarakat Banggai mempunyai tanggung jawab yang sama terhadap keberlangsungan lingkungan dan perkembangbiakan Maleo di Banggai.

Tahapan Upacara

Tahapan tradisi penghantaran dan penerimaan adalah sebagai berikut:

Bosanyo Batui dan pengkat adat mengorganisir masyarakat adat Batui melalui Dakanyo atau pemimpin adat setingkat di bawah Bosanyo guna pengumpulan telur Maleo.

Memanjatkan doa bersama kepada Tumpu Allah ta’ala/Tuhan alam semesta serta restu leluhur di beberapa Kusali. Terutama Kusali Matindok, Loa dan Bolak asal-muasal 3 kerajaan kecil di batui. Kemudian telur-telur di kumpulkan di rumah Dakanyo untuk di doakan dan di lanjutkan dengan prosesi penghantaran ke rumah Bosanyo.

Selanjutnya telur yang telah dikumpulkan dibungkus daun Kombuno (dahulu telut-telur tersebut dibuatkan ritualnya/diasapi kemudian di gantung di tempat khusus, dan yang diantarakan ke Banggai adalah telur yang di gantung setahun lamanya dan yang di ambil saat ini untuk diantarkan tahun depan karena melimpahnya jumlah telur Maleo di Bakiriang Batui).

Selanjutnya persiapan pengantaran dari rumah Bosanyo ke pantai dan untuk perjalanan ke Banggai memakai perahu yang berawak sejumlah tujuh orang sebagai pengantar yang terdiri dari tiga orang perangkat adat dan empat orang sebagai pendayung dan juru mudi.

Selanjutnya, rombongan penghantar siap di lepas menuju Banggai pada pagi hari. Dalam perjalanannya, rombongan penghantar telur harus singgah di Pinalong untuk melontar selanjutnya rombongan terus ke tanjung merah, suatu daerah di pulau Labobo, Mansalean untuk bermalam dan mengganti pembungkus telur dan daun Kombuno yang Baru. Bekas pembungkus telur yang lama akan di lepas dan di hanyutkan di laut. Daun bekas pembungkus telur tersebut akan di hanyutkan mengikuti arus laut yang akan membawanya ke pantai Banggai, sehingga menjadi tanda bagi pihak kerajaan bahwa rombongan pengantar telur Maleo telah berada di Tanjung Merah bersiap masuk ke Banggai. Sehingga di siapkan ritual Malabot/menerima oleh Batomundoan Banggai.

Selanjutnya rombongan pengantar akan menghantarkan perahu ke Banggai Lalongo. Setelah sampai di depan Banggai Lalongo, perahu diarahkan kembali ke Kota Tua/Kampung Jin di depan Tinakin bolak-balik. Setelah itu perahu diarahkan kepelabuhan Banggai yang berhadapan dengan Keraton Batomundoan Banggai.

Di Banggai sendiri upacara Malabo telah menanti. Dalam pelaksanaan Upacara Malabot Tomundo memberi mandat kepada Bobato dalam hal ini Jogugu untuk memimpin penjemputan sekaligus menerima hantaran Telur dari Batui.

Selanjutnya hantaran telur-telur tersebut menjadi wewenang Jogugu untuk mengaturnya untuk di bagikan kepada keluarganya di Banggai Lalongo, Boneaka dan Padang Laya. Sisanya akan diberikan kepada keluarga-keluarga yang lain di Banggai.

Setelah telur telah resmi di terima maka rombongan pengantar akan kembali ke Batui melaporkan kepada Bosanyo Batui dan ketiga Kusali Matindok Loak Bolak.

Kemudian seluruh pertangkat adat bersama masyarakat adat membuat ritual adat sebagai ucapan syukur atas selesainya tugas melaksanakan amanat leluhurnya. Dan sebagai pertanda kepada keluarga dan masyarakat Batui Bahwa Telur Maleo yang ada di Batui sudah dapat dimakan.

Itulah sejarah singkat dan prosesi adat Tumpe/Tumbe pada masyarakat adat Batomundoan Banggai. Kemudian yang menjadi realitas saat ini adalah keberadaan Telur dan Burung Maleo di Batui khususnya dan Banggai Pada umumnya sangat terancam kelestariannya. Jumlah Burung yang semakin sedikit dan sangat langka di temukan menjadi sebuah keprihatinan sekaligus mejadi tanggungjawab semua pihak/stageholder terutama pemerintah sebagai pemegang kebijakan.

Mengingat burung Maleo bukan saja burungyang mempunyai hubungan erat dengan masyarakat adat Banggai tetapi merupakan asset Bangsa di atas keanekaragaman fauna, yang kita ketahui bersama bahwa diseantero dunia ini, burung ini hanya terdapat di Banggai dan sekitarnya, Sulawesi Tengah Indonesia. Sebagai fauna tua dan langka di dunia dalam wilayah Walasea burung Maleo seperti halnya Komodo. Hal ini merupakan kebanggaan masyarakat Banggai sekaligus melekat tanggungjawab akan keberlangsungan hidup spesies ini. Untuk itu perlu langkah kongkrit ada tindakan penyelamatan melalui berbagai program baik itu dari tingkat Pusat, Provinsi dan Kabupaten yang melibatkan masyarakat khususnya Masyarakat Adat Banggai dan masyarakat pada umumnya.

Pada masa pemerintahan kerajaan Banggai telah menetapkan kawasan Bakirian di Batui sebagai wilayah konservasi adat atas hutan untuk satwa Maleo dan Pati-pati di Bualemo wilayah konservasi adat atas hutan dan satwa Anoa dan Rusa lewat keputusan Raja Banggai tahun 1936. Ini adalah bukti kearifan dan betapa konsennya kerajaan Banggai dan masyarakat adat Banggai terhadap pelestarian lingkungan dan satwa-satwa di Negeri ini. Tiada kata terlambat saat ini kita masih bisa menyelamatkan sekaligus merehabilitasi kembali hutan dan habitat burung Maleo, dengan kerja-kerja kongkrit dan keterlibatan semua pihak terutama pemerintah sebagai pemegang kebijakan.

Atas nama masyatrakat adat Banggai, lembaga masyarakat adat dan Batomundoan Banggai menyampaikan terimakasih yang tiada terhingga kepada semua pihak yang telah berbuat, memberi sumbangsi pemikiran terhadap keberlangsungan Burung Maleo di Negeri ini.

(Ditulis kembali oleh Nurhalis Lauselang berdasarkan sumber dari Dinas Pariwisata Kabupaten Banggai Laut/humas)

Silakan komentar Anda Disini….