Tutup
Kolom Anda

Refleksi Setahun Pascabencana Gempa-Tsunami-Likuefaksi Palu, Sigi, Donggala; Kesah Mereka yang Kehilangan Mata Pencaharian

×

Refleksi Setahun Pascabencana Gempa-Tsunami-Likuefaksi Palu, Sigi, Donggala; Kesah Mereka yang Kehilangan Mata Pencaharian

Sebarkan artikel ini
Ilham dan pamannya, penyintas asal Kel. Mamboro ini menjadikan membuat kerajinan tangan dan usaha tambal ban sebagai sumber ekonominya

Oleh : Heri Susanto

Pada 28 september 2018 lalu, secara berturut tiga bencana dahsyat melanda Kota Palu, Sigi, Donggala, dan Kabupaten Parimo; Gempa bumi – tsunami, dan likuefaksi. Bencana yang dimulai dengan gempabumi 7,4 SR sekitar pukul 18.02 Wita itu meluluhlantakkan permukiman warga di lokasi terdampak. Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah ( BPBD ) Provinsi Sulawesi Tengah, lebih dari 4 ribu orang menjadi korban jiwa, ribuan rumah rusak bahkan sebagian hilang, serta  infrastruktur rusak.

Advertising

Hingga bulan Agustus 2019 atau hampir setahun sejak bencana terjadi, kondisi penyintas masih belum kembali ke kondisi normal. Ribuan orang masih berada di hunian sementara, sebagian lainnya bahkan masih mendiami tenda-tenda pengungsian.

Hilangnya sumber pencaharian ekonomi karena alat produksi dan tempat bekerja sebelumnya yang rusak juga menjadi fragmen hidup bagi sebagian besar penyintas hingga setahun pascabencana, terutama mereka yang bergantung pada usaha mandiri/ swasta sebelum bencana terjadi. kini sebagian besar penyintas terpaksa beralih ke pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan ekonominya, Kasus-kasus yang kini jamak terjadi di wilayah terdampak bencana di Sulawesi tengah. Sairin, Ilham, Amenudin, dan Bobi, adalah bagian kecil dari dari problem besar dalam penanganan pascabencana di Sulawesi Tengah.

Sairin dan Setahun yang Kering di Kabupaten Sigi

Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah ( BPBD ) Provinsi Sulawesi Tengah per Januari 2019, bencana gempa dan likuefaksi di Kabupaten Sigi mengakibatkan sebanyak 30.538 bangunan terdampak, sebagian besar rusak berat bahkan hilang tertimbun lumpur. Salah satu desa di Sigi yang terdampak parah likuefaksi yakni Desa Jono Oge. BPBD mencatat 209,9 hektar lahan pertanian dan permukiman di Jono Oge rusak parah dan tak bisa lagi digunakan dan memaksa penyintas mencari sumber ekonomi lain selain bertani. Hal yang juga masih dilakoni Sairin ( 62 ) hingga setahun pascabencana.

Sairin ( 62 ) dan istri tinggal di huntara dan bekerja serabutan akibat lahan pertanian di Desa Jono Oge belum bisa digarap karena kekeringan

“Rumah, lahan tani, dan ternak saya habis kena likuefaksi, tidak ada yang tersisa. Sekarang hanya kerja serabutan.,” ujar Sairin di lokasi huntara terpadu Desa Jono Oge, Sigi.

Sempat menempati tenda darurat selama tiga bulan, Sairin ( 62 ) dan istrinya Isah ( 58 )  kini menempati hunian sementara di Desa Jono Oge yang dibangun salah satu lembaga amal. Hidup sebagai penyintas yang telah kehilangan harta benda dan lahan tani yang menjadi penopang ekonomi, membuat sairin dan istri harus berusaha keras mencari sumber ekonomi baru. Bekerja secara serabutan harus dilakoni Sairin demi mendapatkan penghasilan. Sang istri bahkan kini membantu perekonomian keluarga dengan membuat makanan untuk dijual/ dititipkan ke pedagang di pasar tradisional. Meski begitu, budaya tani yang kuat pada mayoritas warga Kabupaten Sigi termasuk Sairin, membuatnya juga masih bercocok tanam, meski hanya di lahan milik orang lain yang disewanya dengan hasil yang jauh menurun dibanding sebelum bencana.

Sairin, Petani/ penyintas bencana asal Kab. Sigi

“Sebenarnya masih ada teman yang bisa sewakan lahannya. Cuman sekarang juga percuma karena air tidak ada,” sambungnya.

Apa yang dialami petani seperti Sairin pascabencana merupakan hal yang jamak ditemui di Kabupaten Sigi saat ini. Curah hujan yang minim serta rusaknya irigasi Gumbasa yang selama ini mengairi 7000 hektar lahan tani di empat kecamatan, memperlambat proses pemulihan ekonomi bagi penyintas. Bahkan hingga September 2019 perbaikan yang dilakukan oleh Kementerian PUPR belum selesai.

“Kalau Gumbasa cepat diperbaiki dan selesai mungkin petani kayak saya bisa cepat juga bagus ekonominya tidak kayak sekarang,” tutupnya.

Amenuddin, Tenda Pengungsian, dan Ayam Geprek

Saat gempa 7,4 SR pada 28 September 2018 lalu, Amenuddin ( 27 ) berada terpisah dari sang istri yang sedang mengandung anak pertamanya. Amenudin berada di Pantai Talise sedang berjualan ayam geprek, usaha yang menjadi penopang perekonomian keluarganya, sedangkan istrinya tengah di rumah, di Kelurahan Balora, Kecamatan Palu Barat. Setiba di lokasi rumahnya malam itu, Amenudin hanya mendapati lumpur yang bergunduk-gunduk sepanjang mata memandang, tak ada lagi permukiman padat tempatnya bermukim. Hanya ada kengerian dan kobar api. Istrinya selamat meski harus berjuang menyelematkan diri, juga menyelamatkan bayi dalam kandungannya.

“Yang saya pikirkan waktu itu hanya istri saya. Dia hamil tua. Sukurlah dia selamat, biar rumah saya dan isinya habis tertimbun.” tuturnya mengenang peristiwa setahun lalu itu.

Amenuddin, istri, dan bayinya , penyintas yg masih tinggal di pengungsian Balaroa. Hampir setahun ini amenuddin bekerja serabutan karena alat produksi ayam gepreknya hilang terkena likuefaksi

Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Palu mencatat, likuefakasi di Kelurahan Balaroa membuat 47,8 hektar lahan bergeser dan rusak berat, termasuk bangunan-bangunan di dalamnya, rata dengan tanah.

Ribuan orang yang selamat dari bencana dahsyat di Balaroa mengungsi, termasuk Amenuddin dan istrinya.  Hingga setahun pascabencana, amenuddin dan istrinya, Nuranissa ( 25 ) masih bertahan di tenda pengungsian bersama bayi laki-lakinya. Selama setahun pula Amenuddin bekerja serabutan sebagai kuli bangunan dan dukungan keluarga untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Amenuddin tidak bisa berbuat banyak untuk mengembalikan usahanya. Alat produksi termasuk rumahnya hancur.

“Sembarang sudah saya kerja yang penting dapat uang untuk anak saya dan istri. Ada juga keluarga bantu-bantu,” kata kepala keluarga yang sebelum bencana tinggal di Jalan Kelor, Palu Barat itu.

Kerja serabutan juga mesti ia lakukannya demi mengumpulkan modal usaha untuk memulai usahanya sebelum bencana: ayam geprek.

“Dulu saya usaha ayam geprek pake gerobak. Lumayan hasilnya. Sayangnya belum ada modal untuk mulai jualan lagi.” katanya

Ilham dan Upaya Kreatifnya untuk Bangkit

Sebelum bencana terjadi, Ilham ( 38 ), berprofesi sebagai tukang ojek yang mangkal di Terminal Mamboro, Kecamatan Palu Utara. Pekerjaan itu cukup untuk membiayai kebutuhan sehari-hari bersama anak laki-lakinya yang berusia 14 tahun, anak yang dibesarkanya seorang diri setelah sang istri meninggal dunia saat anak laki-laki itu baru berusia 3 tahun.

Ilham dan pamannya, penyintas asal Kel. Mamboro ini menjadikan membuat kerajinan tangan dan usaha tambal ban sebagai sumber ekonominya

Sore itu Ilham dalam perjalanan pulang, 200 meter lagi ia sampai rumahnya yang tak jauh dari Pantai Mamboro. Tiba-tiba gempa 7,4 SR mengguncang. Ilham dan  para pengendara di jalan jatuh dan tiarap. Ilham memilih berlari ke arah bukit di belakang permukiman warga saat tsunami menerjang dengan cepat. Ia berhasil selamat. Juga sang anak yang ternyata juga menyelamatkan diri ke arah yang sama.

” Saya dan anak selamat. Ternyata dia juga ke tempat yang sama waktu lari. Itu yang paling saya sukuri.” kenang Ilham.

Tsunami dengan cepat meluluhlantakkan permukiman penduduk di Kelurahan Mamboro Induk dan Barat karena lokasinya yang dekat dengan pantai. Berdasarkan data Bappeda  Kota Palu , kawasan Mamboro menjadi yang paling parah terdampak gempa dan tsunami; sebanyak 193 bangunan rusak, sebagian besar hilang tersapu tsunami. Ilham sendiri hanya mendapati bagian lantai yang tersisa dari rumahnya, sedangkan motor yang digunakan mencari penghasilan, meski berhasil ditemukan namun tidak bisa lagi digunakan. Setelah sempat mengungsi ke rumah kerabatnya. Ilham dan sang anak kembali dan membuat tenda darurat di lokasi rumahnya semula, di pinggir jalan raya mamboro dan bertahan hidup dengan bantuan anggota keluarga dan sukarelawan kemanusiaan.

” Pokonya tidak ada yang tersisa setelah bencana, hanya baju dibadan saja. Untung ada keluarga dan sukarelawan yang kasi bantuan.” kenangnya lagi.

Setahun pascabencana itu, Ilham membangun kembali rumahnya dengan sebagian material dari sisa-sisa bencana. Sumber penghasilannya kini adalah dari usaha tambal ban dan menjual bensin botolan yang modalnya dari bantuan kerabat. Ilham menjalankan usahanya ini dibantu oleh sang anak sepulang sekolah.

Menjadi orangtua tunggal untuk membiayai sekolah sang anak dan kebutuhan sehari-sehari membuat Ilham mencoba berbagai peluang usaha di sela-sela waktunya menunggu pengendara yang membutuhkan jasa tambal ban miliknya. Salah satunya membuat kerajinan tangan tas belanja yang terbuat dari bekas kemasan air mineral. Usaha ini relatif memberi keuntungan bagi ilham karena banyak diminati khususnya oleh sukarelawan yang bekerja di wilayah Mamboro pascabencana. Meski banyak mendapat pesanan, kebutuhan bahan baku belum mampu dipenuhi ilham. Dukungan pengembangan usaha kreatifnya menjadi peluang ilham untuk bangkit memulihkan perekonomiannya.

” Saya dikasi modal keluarga untuk buka tambal ban ini. Kalau tidak ada yang ditambal, ya saya buat-buat tas dari bekas air mineral ini. Lumayan juga hasilnya, cuma susah cari bahan baku seperti bekas air mineral. Kalau banyak bahan baku banyak juga saya buat.” kata Ilham di rumah di Kelurahan Mamboro Barat.

Bobi Dan Upayanya Menyembuhkan Ekosistem Laut Mamboro

Bobi sejatinya adalah ketua kelompok nelayan Mamboro yang beranggotakan 114 orang. Sebelum gempa dan tsunami melanda pada 28 September tahun lalu, Mamboro merupakan kawasan sumber pendapatan Kota Palu dari sektor hasil laut. Kawasan ini dulu adalah tempat pengumpulan ikan, pusat budidaya udang vaname, dan wilayah konservasi terumbu karang. Para nelayan di Mamboro pun tidak perlu melaut jauh untuk menangkap ikan, termasuk Bobi dan kawan-kawannya sesama nelayan.

Bobi Lasani, penyintas bencana yang juga nelayan memilih memperbaiki ekosistem laut dengan transplantasi terumbu karang agar ikan kembali banyak di perairan mamboro.

Namun bencana membalikkan keadaan itu dan para nelayan menjadi yang paling terdampak. Tsunami menyapu tak bersisa rumah, perahu, dan alat tangkap ikan mereka. Sementara ekosistem terumbu karang rusak parah. Sumber utama penghasilan nelayan Mamboro hilang.

” Mau melaut juga hasilnya turun jauh dibanding dulu. Tidak ada ikan, karang hancur karena tsunami.” ungkap pria 48 tahun ini di tepi pantai Mamboro, Palu Utara.

Seperti kisah selamat dari bencana sebagian besar warga Mamboro, bobi dan istrinya juga berhasil selamat dari tsunami dengan mengevakuasi diri ke bukit di belakang permukiman mereka.

Tiga bulan pascabencana bobi menjadi yang paling awal kembali ke lokasi rumahnya yang hancur di Pesisir Mamboro dan mulai membangun hunian sederhana dari material sisa bencana. Hasil laut di perairan mamboro tidak lagi bisa dijadikan sumber penghasilan. Tak ada lagi ikan karena karang hancur. Sang istri akhirnya turut membantu perekonomian keluarga dengan membuka kios sederhana. Sementara Bobi, sesekali bekerja sebagai buruh bangunan.

” Bagaimana mau ditenda terus kalau tidak ada penghasilan? Sementara kami ini nelayan.” keluhnya.

Keterikatan yang kuat bobi dengan laut akhirnya membuatnya memperbaiki perahu rusaknya dan berupaya mengembalikan ekosistem bawah laut, karang, sebagai rumah ikan. Bobi berhasil meyakinkan dan mengajak warga Mamboro lain untuk turut. Ia dan beberapa warga membuat media transplantasi terumbu karang dengan material bekas bencana, seperti besi dan pipa, sedangkan semen didapatkan bobi dari sumbangan sukarelawan.

Upaya bobi tidak mudah karena untuk mendapatkan bibit karang jahe, karang yang dipilihnya untuk ditanam, ia harus menggunakan perahu dan menempuh jarak lebih dari 10 kilometer ke Kabupaten Donggala. Bibit karang yang ia dapatkan, ditanamnya di perairan mamboro, 250 meter dari bibir pantai.

” Kalau tidak ada yang perbaiki karang di sini, ikan-ikan tidak akan datang. Jadi kami mulai transplantasi karang sejak bulan Juli dengan material sisa bencana.” ungkapnya.

Kini mencari ikan kembali dilakukan bobi sembari bekerja secara serabutan.

Bobi sadar buah dari upayanya tidak akan cepat didapat, tapi ia tetap memilih membuat harapan ada, ketimbang bertahan di tengah ketidakpastian nasib.

” Paling tidak ada yang berusaha kembalikan terumbu karang. Supaya nelayan tidak makin susah. Hanya laut harapan kami untuk mata pencarian.” tutup Bobi.

Silakan komentar Anda Disini….