NAMANYA adalah Sardin. Berumur 48 tahun. Badannya kurus, kulitnya sawo matang dan wajah agak sedikit keriput. Rutinitas sepanjang masa hidupnya seakan tak pernah lepas dari laut. Mencari ikan sebelum matahari terbit, sudah ia lakoni sejak usianya masih belasan tahun bersama ayahnya.
Kala itu, matahari sudah mulai terik di bagian pesisir Pantai Nambo, padahal waktu masih sangat terlalu pagi. Tampak para nelayan sedang berkumpul bercengkerama satu sama lainnya sambil melihat Sardin memahat perahu di bawah pohon ketapang samping pondoknya.
Bagi Sardin, membuat sampan atau perahu diperlukan niat yang dipadukan dengan waktu luang dengan bekal pertukangan. Di umur yang hampir setengah abad ini, tentunya ia sangat memahami cara membuat perahu sesuai dengan keinginan ombak di Selat Peling.
“Buat perahu itu dilihat dari tujuannya dulu, kalau tujuannya untuk mencari ikan dilaut. Berarti kita mengutamakan daya tahan dan usia untuk berayar, bukan hanya bentuknya yang menarik saja,” kata Sardin pada 27 Agustus 2019 sambil memahat perahu.
Perahu yang dibuatnya merupakan milik Kelompok Nelayan Bolibis Jaya, ia tergabung dalam kelompok itu dan dipercayakan oleh kawanan nelayan lainnya untuk membuat perahu yang berkapasitas 2 ton.
Setiap harinya sejak pukul 07.00-16.30 WITA ia menghabiskan waktu untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Targetnya minggu ini terhitung dari waktu saya bertemu dengannya, perahu harus bertolak dari pesisir pantai Nambo untuk berlayar menyusuri lautan Indonesia.
Pantai Nambo yang dimaksud berada di Desa Lontio, Kecamatan Nambo, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Sebagian besar penduduk di Nambo adalah petani dan nelayan. Mereka memanfaatkan kekayaan alam agar bisa bertahan hidup dan berkeinginan untuk sejahtera.
Memiliki satu istri dan empat orang anak, Sardin mampu menghidupi keluarganya bahkan mengsekolahkan anaknya hingga nantinya ingin mewujudkan cita-cita anak pertamanya menjadi prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI). Semuanya adalah hasil dari kekayan laut.
Selain untuk makan, hasil laut yang ia peroleh dijual ke Pasar Tradisional. Setiap hari ia pergi mencari ikan dengan menggunakan pancing. Waktunya tidak menentu, tergantung cuaca. Dalam sehari ia bertolak memancing tiga kali, pagi, siang dan malam.
Penghasilnya pun terbilang cukup, terkadang ia mendapatkan setengah basket pada setiap kali melaut. “Untuk setengah basket itu terjual dengan harga Rp600 ribu. Itu jenis ikan batu. Rata rata penghasilan perbulan itu sekitar Rp3 jutaaan, lumayanlah pak.”kata Sardin.
Dan penghasilan itu, ia peroleh sendiri dengan sampan kapasitas 2-3 orang saja. Terkadang juga dibantu oleh anaknya kalau pulang sekolah atau di waktu libur.
Di saat cuaca buruk yang tidak memungkinkan untuk melaut, Ia kerja serabutan seperti menjadi tukang kayu atau tukang batu. Tapi itu, tergantung apabila ada panggilan.
Sekitar 10 orang nelayan di Desa Lontio, kini bergabung dalam sebuah Kelompok Nelayan Bolibis Jaya. Kelompok nelayan mitra binaan CSR Donggi Senoro LNG. Kelompok itu dipimpin oleh Anto Nona’i.
Mereka mendapatkan bantuan dari mitra binaan untuk mengatur kelembagaan kelompok nelayan bermanfaat dan kebutuhan alternatif lainnya untuk menangkap ikan tanpa merusak kekayaan laut, namun sangat membutuhkan kreatifitas agar bisa digunakan cukup lama.
“Kita diberikan kepercayaan oleh mitra, dan diberikan bantuan Rp27 juta rupiah berupa bahan bahan pembuatan perahu, mesin perahu merk Honda 15 pk dan jarring tangkap ikan sejak tahun 2018,”kata Anto.
Awalnya, para nelayan beranggapan setelah mendapatkan bantuan dari mitra binaan. Tinggal dilakukan pengawasan dalam pembuatan perahu. Namun demikian, para nelayan diberikan pemahaman atau pengetahuan lebih dari penggunaan serta pemanfaatan alat tangkap ikan tradisional.
“Dulu memang agak sedikit lucu, kok nelayan mau diajar cara tangkap ikan,”kata Anto sambil tersenyum.
Setelah diikuti beberapa kali pertemuan dengan pendamping kelompok nelayan dari mitra binaan, gimana pak ?
Mendengar pertanyaan itu, tampak Sardin dan Anto langsung berbicara sangat lancang. “Sangat bermanfaat, bukan berarti kita sebagai nelayan, semua bisa kita ketahui apa yang ada di laut,”ucap Sardin, orang kepercayaan Anto untuk membuat sampan.
Bagi Sardin, seorang nelayan yang mengandalkan mencari ikan dengan menggunakan pancing di masa hidupnya, kini mulai ditinggalkan berlahan lahan. Para nelayan memberdayakan alternatif alat tangkap ikan dengan menggunakan jala atau jarring bendera.
Jaring bendera yang dimaksud adalah alat tangkap tradisional asal daerah Ternate. Alat tangkap yang produksi pembuatannya digunakan dengan kerajinan tangan seorang nelayan. Kekuatan jaring dalam pemanfaatan untuk tangkapan ikan tergantung dari kekuatan dan kreativitas jahitan bagi kelompok nelayan.
“Jadi kita itu tidak hanya mendapatkan bantuan, tapi para nelayan diberdayakan dalam penggunaan serta menguasai alternatif produksi alat tangkap ikan yang bisa peroleh tangkapan banyak pada setiap kali melaut. Kita diajar menjahit dan cara itu sangat bermanfaat bagi nelayan khususnya di wilayah Nambo,”tuturnya.
Hasilnya, nelayan lokal sudah mulai belajar membuat jaring bendera dari hasil jahitian tangan masing masing kelompok nelayan. Dan peroleh tangkapan yang begitu banyak bahkan sangat ramah lingkungan serta dapat melindungi terumbu karang.
Dan itu tidak hanya digunakan oleh Kelompok Nelayan Bolibis Jaya saja, akan tetapi 16 kelompok nelayan yang tersebar di Kecamatan Batui, Nambo dan Kintom. Seperti yang disampaikan oleh Boris Soehaemy. Ia adalah pendamping kelompok nelayan oleh CSR Donggi Senoro LNG di tiga kecamatan tersebut, yang anggotanya berkisar 180an nelayan.
Penggunaan jaring bendera asal Ternate untuk diterapkan di wilayah Banggai adalah pilihan yang sebelumnya dilakukan riset oleh Boris. Pemanfaatan dalam penggunaan jaring itu, awalnya langsung disetujui oleh nelayan yang tergabung dalam kelompok.
Namun demikian, nelayan tidak hanya tinggal mengikuti saja. Akan tetapi di ajarkan untuk cara memproduksi hingga perawatan jaring bendera.
“pukat atau jaring bendera itu, bentuknya seperti bendera yang berkibar ketika di dalam laut. Lebarnya 35 meter, dengan panjang 40 meter. Jadi bisa digunakan hanya dengan satu orang saja. Tinggal melepaskan kedalam laut yang benangnya diikat oleh batu, maka jaring dengan sendirinya akan berkibar dan ikan dilaut terperangkap dengan kibaran jaring ikan,” ucap Boris.
Menurutnya, walapun itu jaring atau alat tangkap tradisional Ternate, namun selama jaring berkibar seperti bendera. Bisa digunakan dimana saja asal di Indonesia, karena itu karya anak bangsa.
Produksi alat tangkap jaring bendera, bisa menghabiskan sekitar 4-5 juta. Akan tetapi dengan jumlah kelompok nelayan yang berjumlah berkisar rata rata 10 orang. Itu sudah cukup, apalagi penggunan yang berlangsung sangat lama.
“Hasil riset, kita juga harus pikirkan nelayan. Untuk apa tinggalkan pancing dan beralih ke jaring kalau tidak bisa mengetahui cara pembuatan dan perewatannya. Dan akhirnya sebagian besar para nelayan sudah mulai pelan pelan meninggalkan pancing untuk menangkap ikan. Karena sudah bisa menjahit dan merawat ketika rusak akibat ikan yang mengamuk,”kata Boris saat menerima kunjungan peserta AJD 2019.
Pendampingan yang dilakukan oleh mitra binaan juga melakukan pertemuan pada kelopok pada setiap bulannya. Pertemuan yang bisa membongkar masalah kelembagaan dalam suatu kelompok nelayan bahkan memperbaiki administrasi agar penambahan modal dan keuntungan bisa teratur lebih baik.
Dan pembinaan kelompok nelayan dalam penyelenggaraan penyuluhan perikanan di Banggai sangat mempengaruhi nelayan dalam upaya untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap pelaku utama mampu meningkatkan kemampuan dan kemandirian didalam penangkapan ikan di laut.(*)