KAMIS-Jum’at, 19-20 September 2019, mata publik terhenyak dengan pergerakan mahasiswa di depan gedung DPR/MPR Jakarta. Mereka menyuarakan penolakan terhadap Rancangan KUHP dan Revisi UU KPK.
Rancangan KHUP berisi pasal karet yang akan menjerat para pengkritik pemerintah dan presiden/wakil presiden. Ini yang semakin menguatkan para mahasiswa bahwa Jokowi mempersiapkan rezim anti kritik dan menjadi penanda lahirnya kembali rezim otoriter new orde baru.
Yang membuat marah mahasiswa memuncak adalah Revisi UU KPK yang sudah ditetapkan jadi UU. Hal ini akan mengebiri lembaga anti raswah ini untuk memberantas korupsi. Adanya institusi Dewan Pengawas dirasa akan mematikan pergerakan KPK untuk memberantas korupsi. Termasuk terpilihnya Firli yang penuh kontroversi menjadi sasaran kritik mahasiswa.
Pergerakan mahasiswa disinyalir tak akan berhenti sampai tuntutan mereka tercapai. Dan benar adanya, Senin 23 September, Yogya bergerak, Malang bergerak, Cirebon bergerak, Jember bergerak, Kaltim bergerak. Informasi yang berkembang gerakan ini akan terus naik sampai Oktober dan memuncak panas.
Korupsi memang menjadi masalah berat negeri ini. Paparan virus korupsi telah menjangkiti hampir seluruh sendi negeri ini. Adanya institusi KPK dianggap menjadi satu-satunya jalan pemberantasan korupsi. Jadi kalo KPK dimatikan maka ini sama saja negeri ini dibuka lebar-lebar untuk dikuasai para koruptor.
Tetapi muncul pertanyaan menggelitik, mengapa korupsi kecil-kecil yang dibabat sama KPK? Bagaimana kabar skandal BLBI, Century, E-KTP, penyelewengan dana desa dan skandal korupsi besar lainnya?
Disinilah akhirnya menjadi beban masalah berikutnya. Tebang pilih kasus dapat dilihat oleh publik. Wajar bila kemudian publik beranggapan bahwa lembaga anti raswah ini juga syarat kepentingan para elit. Sampai kemudian muncul seloroh “Siapa yang menguasai Kuningan maka dia yang menguasai negeri”.