PALU, Kabar Selebes – Rencana pemerintah Kota Palu untuk membangun Jembatan Palu V yang akan menghubungkan Kelurahan Tatura dan Kelurahan Tatanga tidak semulus yang dibayangkan. Saat ini, rencana pembangunan jembatan Palu V itu ternyata digugat oleh sejumlah warga.
Gugatan itu bukan terkait kebijakannya, melainkan terkait ganti rugi lahan yang akan digunakan untuk pelebaran jalan. Setidaknya ada 21 warga Jalan Anoa II kini sudah menggugat pemerintah kota Palu terkait ganti rugi lahan itu. Hari Selasa (27/8/2019), gugatan itu sudah memasuki persidangan di Pengadilan Negeri Palu. Gugatan itu dengan dua nomor perkara, yakni perkara nomor 76 dan 77/Pdt.G/2019/PN. PAL.
Dalam sidang lanjutan pemeriksaan perkara gugatan perdata permohonan ganti rugi lahan warga yang terdampak pelebaran jalan Anoa II di Kelurahan Tatura Selatan, untuk akses pembangunan jembatan Palu V, di Pengadilan Negeri (PN) Klas IA/PHI/ Tipikor Palu, Selasa kemarin, kuasa hukum penggugat menghadirkan dua orang saksi.
Rasta Dobe dan Budi merupakan warga di jalan Anoa II yang halaman dan pekarangan rumahnya juga terdampak pelebaran jalan, termasuk selaku penerima ganti rugi.
Kedua saksi awalnya dimintai keterangan untuk perkara Nomor 76, yang diajukan oleh Ruth Tumanan, Arief dan Ridwan. Sementara untuk perkara No. 77 yang diajukan ke 18 warga lainnya hanya memeriksa saksi Budi saja. Di dalam persidangan, saksi Rasta menerangkan bahwa pada dasarnya 21 masyarakat penggugat tidak keberatan terhadap progres pelebaran jalan anoa II untuk pembangunan jembatan Palu V yang dilakukan pemerintah.
“Namun yang kemudian menuai keberatan warga, mengenai belakangan adanya pembayaran ganti rugi lahan atas pelebaran jalan yang diskriminatif. Ada yang dibayarkan Rp 952 ribu, ada lagi yang dibayar Rp 4 juta,” tuturnya di dalam persidangan yang dipimpin ketua majelis hakim HJ Sukmawati SH MH.
Rasta menguraikan ketiga warga yakni Ruth Tumaman, Arief dan Ridwan adalah tetangganya yang tinggal sama di Jalan Anoa II, di lingkungan RT 004, RW 01, Kelurahan Tatura Selatan. Ketiga warga itu, rumahnya juga terdampak pelebaran jalan. Namun ketiganya diketahui Rasta, sama sekali belum menerima pembayaran ganti rugi dari pemerintah.
“Ketiga warga ini belum menerima pembayaran ganti rugi, mereka sekaligus pula keberatan terhadap adanya ketidak adilan pembayaran ganti rugi itu,” sebutnya lagi.
Rasta yang memberikan jawaban atas pertanyaan majelis hakim, kuasa para penggugat maupun tergugat di dalam persidangan mengungkapkan bahwa ketiga warga pemohon, termasuk dirinnya adalah warga penerima ganti rugi lahan yang hanya dibayarkan dengan nilai ganti rugi sebesar Rp 952 ribu permeter persegi.
Katanya lahan dan perkarangan mereka yang terdampak pelebaran jalan rata-rata sepanjang 2 meter. “Pada dasarnya kami inginkan pembayaran itu, disesuaikan dengan warga yang lahan dan pekarangannya dibayarkan 4 juta permeter persegi,” tegasnya.
Sementara itu saksi Budi merupakan warga penerima ganti rugi pelebaran jalan yang dibayarkan sebesar Rp 4 juta. Namun yang menerima pembayaran ganti rugi itu bukan dirinya tetapi mantan istrinya. Selain tanah pekarangan seluas 2 meter, warga ini termasuk penerima pembayaran ganti rugi itu seluruhnya termasuk bangunan pagar dan rumah. Total pembayaran ganti rugi yang diketahuinya diterima sang mantan istri senilai Rp 2 miliar lebih.
“Untuk lahan dua meter itu, total bayarnya Rp 140 juta lebih, karena dari bukti kesepakatan yang diperlihatkan kesaya, pembayaran ganti rugi untuk lahan dua meter itu, permeternya senilai Rp 4 juta,” tandasnya.
Ternyata rumah saksi Rasta serta tiga penggugat dan saksi Budi, jaraknya sekitar 400 sampai 500 meter, dan sama sama berada dipinggir jalan anoa II. Namun bedanya, rumah ketiga pemohon dan saksi Rasta lebih dekat dengan rencana pembangunan jembatan Palu V, ketimbang rumah saksi Budi. Namun kejanggalannya, tiga pemohon tersebut harga lahannya hanya diganti dengan Rp 952 ribu permeter persegi, lahan rumah saksi Budi dihargai Rp 4 juta permeter persegi.(ifal)