Rentetan gempa bumi yang melanda di berbagai tempat di berbagai daerah di Indonesia akhir-akhir memberi kesan seakan-akan Bumi Nusantara sedang gelisah. Orang awam pun akhirnya beranggapan bahwa gempa pada waktu tertentu dapat menjalar ke mana-mana, misalnya dari Lombok menyeberang ke Palu, kemudian dari Papua menerjang Maluku utara, Halmahera Selatan, Sumbawa, Bali, dan Banten, kemudisn entah selanjutnya ke mana lagi.
Pasca gempa Banten M 6,9 pada 2 Agustus 2019, kini berkembang berita yang viral di media sosial bahwa akan terjadi gempa besar megathrust berkekuatan M 9,0 dan mereaktivasi sesar aktif Baribis.
Gejala “menjalarnya” atau “migrasi” gempa dari tempat ke tempat lain, secara ilmiah masih sulit diterangkan. Hingga saat ini, kita lebih mudah mengkaji aktivitas gempa dalam aspek spasial dan temporal daripada mengkaji perubahan dan perpindahan tegangan (stress) di kulit Bumi. Inilah mengapa sangat sulit menerangkan secara empirik dugaan sebagian orang bahwa gempa saling berhubungan dan dapat menjalar kesana kemari.
Ada sebagian pakar berpendapat, perubahan pola tegangan regional (regional stress pattern) mungkin dapat menerangkan gejala ini. Tetapi nyatanya, hingga saat ini bagaimana memodelkan hal itu masih sulit dilakukan. Namun demikian dalam perkembangan ilmu kegempaan, setidaknya sudah ada 2 teori pemicuan antar gempa, yaitu pemicuan yang bersifat statis (permanen) dan pemicuan yang bersifat dinamik (yang berpindah).
Pemicuan yang bersifat statis dapat terjadi pada gempa-gempa yang sangat dekat lokasinya, sebagai contoh adalah munculnya gempa-gempa baru di Lombok di bagian barat dan timur yang diduga kuat akibat pemicuan gempa yang bersifat statis (static stress transfer) dari gempa Lombok M 7,0 yang terjadi sebelumnya. Transfer tegangan statis ini berkurang secara cepat terhadap jarak dan disebabkan oleh perpindahan patahan yang permanen.
Sementara itu untuk pemicuan dinamis, bisa berkaitan dengan gempa-gempa dekat dan jauh. Transfer tegangan dinamis ini nilainya lebih kecil, berkurang dengan melambat terhadap jarak dan merupakan tegangan yang dibawa oleh gelombang seismik melalui batuan. Konsep pemicuan dinamik ini lebih sering dikaitkan dengan potensi gempa yang dipicu dari jarak jauh.
Karena nilai transfer tegangannya kecil, maka syarat utama yang paling dibutuhkan adalah patahan yang terpicu harus benar-benar berada di titik paling kritisnya, sehingga sedikit saja “dicolek” oleh perubahan tegangan (yang kecil), patahan langsung memicu gempa.
Konsep pemicuan dinamik ini sangat rumit dan banyak syarat yang harus terpenuhi, maka bagi mereka yang paham betul ilmu gempa (seismologi) justru malah semakin berhati-hati, tidak mudah dengan entengnya mengatakan sebuah gempa dapat dipicu oleh gempa lain, apalagi hanya menduga-duga dan mencocok-cocokkan (cocokologi) antara satu gempa dengan gempa lain seolah antar gempa dengan mudah saling berkaitan dan dengan mudah saling picu.
Karena masih sangat sulit dalam menjelaskan secara empiris kaitan antar kejadian gempa yang terjadi, yang pasti seluruh peristiwa gempa akhir-akhir ini terjadi di zona rawan gempa. Ini tentu hal biasa dan wajar, sehingga jika ada kejadian gempa yang hampir bersamaan maka itu lebih kepada faktor kebetulan saja.
Masing masing sumber gempa tentu memiliki medan tegangan sendiri-sendiri dan mencapai tingkat akumulasi maksimum (matang) yang hampir bersamaan, sehinga mengalami pelepasan energi sendiri-sendiri yang dimanifestasikan dalam kejadian gempa yang mungkin saja terjadi hampir berbarengan.
Namun demikian yang terpenting adalah bagaimana mengidentifikasi berbagai ragam bencana gempa bumi yang pernah terjadi. Ini penting agar setiap peristiwa gempa bumi menghasilkan pembelajaran untuk perbaikan mitigasi ke depan. Sehingga kita mampu memperkecil risiko, dapat menekan jumlah korban, kerusakan, dan kerugian jika terjadi gempa kuat di kemudian hari.***
Penulis:
Dr Daryono
Kepala Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG