POSO, Kabar Selebes – Dalam perjalanan pertama tim Ekspedisi Poso selama 8 hari di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah sejak 15 mei – 22 mei 2019 menemukan sejumlah bukti pra sejarah rekahan sesar Poso Barat hingga spesies ikan endemik Danau Poso.
Pada ekspedisi pertama tersebut, melibatkan beragam orang dengan latar belakang disiplin ilmu seperti geologi, arkeologi, biologi, antropologi, sosiologi dan teologi.
Perjalanan dilakukan bersama dengan para petani dan nelayan yang bergabung di Aliansi Penjaga Danau Poso. Selain menjelajahi wilayah danau, perbukitan, hutan, tim juga sejumlah wawancara bersama warga setempat.
Terdapat 17 desa yang menjadi tempat penelusuran keanekaragaman budaya, alam dan potensi bencana , yaitu Desa Tolambo, Tindoli, Tokilo, Pendolo, Pandayora, Korobono, Pasir Putih, Bo’e, Taipa, Owini, Panjo, Bancea, Meko, Salukaia, Toinasa, Leboni dan Tonusu.
LUKISAN TANGAN DI BENTENG KANDELA
Di Desa Tindoli, tim arkeolog yang dipimpin Iksam, wakil kepala museum Sulawesi Tengah, menemukan lukisan tangan di dinding gua yang sudah berwarna hitam. Lukisan ini ditemukan di benteng Kandela.
“Kemungkinan lukisan tangan ini berusia lebih tua daripada situs yang ada dari Morowali” Kata Iksam.
KERANGKA LELUHUR ORANG POSO
Selain lukisan tangan dan keramik, di gua Kandela juga ditemukan ratusan kerangka leluhur orang Tindoli. Penyimpanan tulang belulang manusia di gua-gua merupakan tradisi masyarakat Poso di masa sebelum datangnya agama Samawai. Ini dikenal sebagai pemakaman kedua.
Iksam menjelaskan, dahulu ketika ada orang meninggal, jenazahnya tidak langsung dimakamkan, oleh keluarga terlebih dahulu disimpan ditempat tertentu (biasanya tidak jauh dari rumah) hingga tinggal tulang belulang, setelah itu baru kemudian disimpan didalam peti untuk dibawa ke peristirahatan terakhir di gua atau tempat-tempat yang dianggap aman.
Selain Kandela, di Desa Tindoli, temuan arkeologi yang menarik juga dijumpai di Watu Makio. Tim menemukan adanya peti-peti tempat menaruh jenazah dengan motif kepala hewan, ada motif kepala kuda, kerbau dan sapi. Bentuk ketiga hewan ini menurut Iksam menunjukkan strata sosial kerangka yang ada di dalamnya. Dari penelitian dan pencatatan kembali temuan-temuan di gua-gua ini Iksam menegaskan kalau situs-situs di gua-gua yang ada di pinggir danau Poso harus dilindungi mengingat masih sangat diperlukan untuk mengungkap sejarah peradaban manusia di wilayah ini
SESAR POSO BARAT
Tim geologi menemukan rekahan sesar Poso Barat di Watu Makilo. Rekahan ini dibuktikan dari dua batu besar yang terbelah dengan struktur garis-garis pada dinding batu. Jalur sesar Poso Barat berada tepat di tengah batu yang terpisah jauh ini.
Kedua batu ini ditemukan setelah pendakian yang cukup terjal selama 1 jam di Desa Bo’e Kecamatan Pamona Selatan. Rahman, tim ahli geologi dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia menjelaskan titik rekahan sesar Poso Barat ini.
“Hasil pengukuran menggunakan GPS, diperoleh titik koordinat 02 derajat 04 menit, 0,20 detik timur 120 derajat, 37 menit, 31,9 detik”
Berdasarkan hasil pencocokan data GPS dengan peta, sesar Poso barat diketahui posisinya tepat di tempat dimana mereka berdiri, disamping sebelah utara situs watu Makilo. Meski sudah dilakukan pencocokan menggunakan peta berdasarkan jalur gempa yang dilihat di peta dan GPS, masih dibutuhkan penelitian lanjutan untuk lebih memastikan usia rekahan ini.
Meskipun begitu, Reza Permadi, tim ahli geologi dari IAGI lainnya menegaskan bahwa menemukan rekahan pada batuan dengan komposisi seperti yang ditemukan di Watu Makilo menjadi salah satu faktor penting yang menunjukkan ciri adanya patahan.
SPESIES IKAN YANG HAMPIR PUNAH
Sementara itu, tim Biologi melakukan penyelaman di wilayah pantai dan menemukan berbagai spesies ikan yang menunjukkan keanekaragaman hayati Danau Poso. Di wilayah Tindoli dan Tokilo, masih ditemukan zona transisi, dimana ikan-ikan bisa berkembang biak dan beristirahat sehingga ekosistem Danau Poso masih terjaga.
Ahli Iktiologi dari Universitas Sintuwu Maroso, Dr Meria Tirsa Gundo mengatakan keberadaan ikan buntinge dan bungu saat ini langkah, jarang dijumpai sehingga status konservasinya endangered.
Bagi sebagian besar masyarakat di Danau Poso, jenis ikan rono hanya disebut rono saja, tapi bagi kelompok biologi rono punya 4 jenis , kadang tergantung pada mata, ekor, sisik dan sebagainya. Saat sedang melakukan pengamatan di air di wilayah Desa Tokilo, ketiganya menemukan seekor ikan kecil yang baru saja dijaring yang ternyata adalah spesies Bungu.
Namun Dr. Meria mengingatkan, Ikan Bungu yg ditemukan merupakan ikan bungu Masiwu, Spesies yg berbeda dgn spesies yg sudah langkah atau diduga punah. Dia menegaskan indikasi kemiripan dengan spesies Bungu yang sudah punah memerlukan langkah justifikasi ahli lewat prosedur ilmiah.
Saat berada di air terjun Saluopa, Evan dan Kurniawan, anggota tim biologi ekspedisi Poso berdiskusi cukup lama untuk menentukan ikan kecil yang baru saja mereka temukan. Meskipun menemukan beberapa endemik habitat sungai dan Danau Poso, kali ini ikan kecil yang mereka temukan membutuhkan ekstra perhatian agar mereka tidak keliru menyebutkan. Setelah bolak balik mengeceknya, mereka berdua bersepakat bahwa ikan yang ditemukan itu keluarga Adrianichthys Oophorus.
Ini adalah keluarga spesies ikan Buntinge atau Buntingi . Seperti Dr. Meria, mereka juga menyatakan bahwa spesies ini perlu justifikasi ahli melalui prosedur ilmiah. Mereka menyimpan dengan sangat hati-hati di dalam toples yang selalu dibawah kemana-mana, untuk diperiksa kembali di laboratorium.
Dr. Herry Yogaswara, tim ahli ekspedisi Poso yang juga seorang antropolog, menelusuri jejak sejarah masa lalu dengan mendengarkan cerita warga. Salah satu cerita yang didapatkan oleh tim ekspedisi Poso adalah runtuhnya satu kampung ke dalam Danau Poso.
Cerita tentang tanjung di Bancea ini menggambarkan adanya sebuah peristiwa pesta yang melibatkan seluruh warga, namun berakhir dengan runtuhnya kampung ke dalam danau dan mengubah semua penghuni menjadi batu, karena mentertawakan katak. Dongeng masyarakat ini diikuti dengan penelusuran para tim ahli geologi dan arkeologi ke wilayah tersebut dan menemukan balok-balok batu besar yang runtuh ke dalam danau.
Herry menekankan bahwa cerita rakyat menjadi penting sebagai bagian dari penelusuran potensi bencana. “Orang tua kita dulu menceritakan peristiwa alam yang pernah terjadi melalui dongeng atau cerita rakyat”. Karena itu menurut Herry , penelusuran cerita rakyat dalam ekspedisi poso menunjukkan pengetahuan lokal masyarakat penting.
Salah satu pengetahuan lokal masyarakat menyusun mitigasi bencananya sendiri terlihat dari sejarah masyarakat di Toinasa. Masyarakat di Toinasa sebelumnya pernah tinggal tepi di tepi Danau Poso, tapi gempa membuat mereka menggeser batas tinggal desa menjauhi Danau Poso. Wilayah gempa yang pernah dirasakan dalam sejarah masyarakat di Toinasa dikenal dengan nama Lindugi.
Setiap malam, setelah selesai melakukan penelusuran, tim ekspedisi Poso melakukan dialog bersama dengan masyarakat. Dialog diikuti oleh semua anggota masyarakat, mulai dari anak-anak, anak muda, tua dan lansia . Dalam dialog, masyarakat mendengarkan hasil sementara temuan, dan bertanya tentang sesar , gempa, tsunami, likuifaksi , longsor, serta temuan-temuan yang diperoleh tim ekspedisi dalam penjelajahan satu hari.
Lian Gogali, ketua ekspedisi Poso menjelaskan capaian pertama perjalanan ekspedisi Poso di desa-desa adalah kesadaran bahwa mereka hidup di atas patahan. Temuan ekspedisi Poso, menurutnya akan membuat kesadaran tentang hidup di atas patahan mendorong kebijakan pembangunan di desa dan kabupaten Poso mempertimbangkan mitigasi bencana.
“selama ini kita membangun asal membangun , tapi tidak menghargai keberagaman budaya, alam dan terutama tidak mempertimbangkan potensi bencana di Kabupaten Poso. Karena itu, temuan-temuan tim ekspedisi Poso nantinya akan menjadi dokumen bersama yang bisa dibaca oleh masyarakat dan menjadi panduan dalam menyusun perencanaan pembangunan di desa dan di kabupaten,”tegas Lian.