PALU, Kabar Selebes – Akademisi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palu, Sulawesi Tengah, Dr H Gani Jumat mengemukakan puasa memiliki korelasi yang kuat dengan pendidikan mitigasi bencana.
“Ada hubungan antara mtigasi bencana dengan puasa, kedua-duanya sama-sama mengajarkan tentang kesadaran,” ucap Dr Gani Jumat, saat menyampaikan kultum sebelum shalat dzuhur di Masjid Al-Abrar Kompleks IAIN Palu, Kamis (16/5/2019).
Puasa menurut dia, memberikan pendidikan untuk membangun kesadaran spiritual, intelektual dan moral serta akhlak. Pendidikan mitigasi bencana juga memberikan kesadaran kepada manusia agar terhindar dari resiko bencana.
Dekan Fakultas Syariah IAIN Palu itu menyebut puasa memberikan pendidikan spiritual,moral yang sangat baik. Yaitu membangun keimanan untuk menuju ketaqwaan. Meyakini bahwa apa yang terjadi karena kehendak Allah SWT.
Oleh karena itu, sebut dia, sistem mitigasi bencana yang salah satunya berupaya membangun bangunan tahan gempa, pada akhirnya tidak akan bisa bertahan. Sebab, dari sisi spiritual atau keyakinan dan kepercayaan bahwa segala sesuatu pasti akan kembali ke asalnya.
“Puasa mencetak seseorang untuk memiliki kesadaran spiritual, moral, akhlak dan intelektual. Artinya bahwa membangun kesadaran bahwa segala sesuatu tidak terlepas dari ketentuan Allah,” ujar dia.
Alquran telah menyajikan berbagai kisah, bagaimana orang-orang terdahulu menyelamatkan diri dari bencana. Sistem mitigasi bencana juga berangkat dari pengalaman historis atau sejarah atau masa lampau. Sama seperti puasa yang juga memberikan sistem belajar di masa lalu.
Sepenggal kalimat dalam Surah Albaqarah Ayat 183 berbunyi “Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian”.
Dalam salah satu tafsir, kata Gani Jumat yang di maksud orang-orang ‘sebelum kamu’ pada ayat tersebut, yaitu di mulai zaman Nabi Nuh. Nuh memberikan pelajaran besar menuju ketaqwaan, yaitu membangun kesadaran spiritual dan moral yang menjadi pendidikan mitigasi bencana.
Pendidikan mitigasi bencana yang di ajarkan Nuh saat itu, pertama, percaya kepada Allah, artinya tidak boleh syirik. Perilaku syirik tidak ada ampunannya. Kedua, membangun atau membuat bahtera perahu.
Nabi-nabi sebelumnya juga telah mengajarkan tentang mitigasi bencana antara lain Nabi Syuaib dan Shaleh.
Lanjut dia mengemukakan bahwa ada hubungan yang kuat antara musibah yang terjadi dengan perilaku maksiat, menyimpang dan pelanggaran dari anjuran agama. Maka mitigasinya ialah kembali kepada anjuran agama.(*/mad)