PALU, Kabar Selebes – Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) akan memasang sensor bawah laut untuk mendeteksi potensi tsunami pasca terjadinya gempa bumi atau tekanan air dari longsoran bawah laut perairan Palu.
Hal itu diungkapkan Kepala BMKG Dwikorita Karnawati setelah mengikuti Rapat Koordinasi bersama BNPB dan Pemerintah Propinsi Sulawesi Tengah, di Kantor Gubernur, Kamis , 17 Januari 2019.
Menurut Dwikorita, peralatan deteksi tsunami yang dimiliki Indonesia saat ini sebenarnya sudah canggih dan setara dengan peralatan yang dimiliki Australia dan India. Tetapi karena fenomena terjadi tsunami pasca gempa bumi yang justru bersumber dari longsoran bawah laut masih langka.
“Kita butuh lompatan sekitar 20 tahun ke depan untuk teknologi pendeteksi,” kata Dwikorita.
Sedangkan untuk sensor bawah laut, kata Dwikorita saat ini baru digunakan dua negara, Jepang dan Amerika Serikat.
Untuk menerapkan teknologi tersebut ada 1.800 instrumen yang akan dilengkap untuk lompatan 20 tahun ke depan itu.
“Misalnya saat ini kita memberikan peringatan dini dalam tiga menit paling cepat. Sementara tsunami yang terjadi lebih cepat dua menit. Dengan demikian kita berupaya alat komunikasinya kita tingkatkan. Sehingga perlu ada sensor bawah laut,” kata Dwikorita.
Peralatan canggih itu segera diupayakan. Dengan sensor bawah laut, bila ada tekanan yang menyebabkan peningkatan air laut, akibat longsor, erupsi gunung api atau gempa tektonik, bisa terdeteksi.
“Saat ini sedang dalam planning (perencanaan) yang dimulai akhir 2018. Tapi perlu proses. Itu harus diuji lagi karena new technology oleh BPPT. BPPT butuh waktu satu sampai dua tahun sebelum bisa dioperasionalkan. SOPnya memang harus diujicoba,” ujar Dwikorita.
Menurut Dwikorita, alat deteksi tsunami di Palu sudah siap tapi untuk karakter tsunami seperti yang terjadi di Banda Aceh.
“Yang tidak ada alat deteksi tsunami akibat longsor bawah laut karena itu memang fenomena langka,” kata Dwikorita.
Sementara itu, Kepala BNPB Doni Monardo mengatakan teknologi tetap kita butuhkan tetapi yang lebih dibutuhkan lagi adalah kesiapan masyarakat kita untuk betul-betul melakukan reaksi .
“Dua sampai tiga menit setelah gempa bumi lantas terjadi tsunami. Tidak ada lagi kesempatan untuk menunggu informasi. Begitu ada gempa langsung lari dengan menghindari pesisir serta bangunan yang berpotensi berbahaya termasuk daerah likuifaksi,” kata Doni Monardo. ( Patar)