JAKARTA, KabarSelebes.com – Gempa berkekuatan M 6,6 dan berpusat di daratan melanda Poso, Sulawesi Tengah, merusak puluhan bangunan, Senin (29/5) malam. Sumbernya diduga dari sesar aktif Palolo Graben, 40 kilometer arah barat laut Kota Poso. Namun, bukan gempa ini yang paling ditakutkan terjadi di Pulau Sulawesi.
Peneliti gempa dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mudrik Rahmawan Daryono dalam disertasinya tentang “Paleoseismologi Tropis Indonesia” (2016) menyebut, Sesar Palolo Graben ini memanjang 70 km dan membentuk lembah Palolo dan lembah Sopu. Sesar itu di barat laut berpotongan dengan Sesar Palu-Koro, sedangkan di batas tenggara menghilang di Lembah Napu.
Gempa sebelumnya terjadi di sesar ini pada 1977 berkekuatan M 5,1 dan tahun 2005 berkekuatan M 5,3. “Dari panjang sesarnya, kekuatan maksimal gempa sekitar M 6,” ujarnya.
Namun, yang lebih dikhawatirkan di Sulawesi Tengah bukan Sesar Palolo Graben, melainkan Sesar Palu-Koro, sesar darat terpanjang kedua di Indonesia setelah sesar besar Sumatera. Sulawesi yang terbentuk dari tumbukan tiga lempeng besar, yakni Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik, adalah pulau amat dinamis dan dibelah banyak sesar aktif.
Dalam Peta Sumber Gempa Nasional terbaru yang disusun Pusat Studi Gempa Nasional (Pusgen) tahun 2017, ada 48 sesar atau sumber gempa di Pulau Sulawesi. Padahal, dalam peta gempa 2010, di Sulawesi teridentifikasi 12 sumber gempa.
“Sebagian sesar melintas di kota padat. Berdasarkan ancamannya, yang perlu dikhawatirkan adalah Kota Palu yang dilalui Sesar Palu-Koro di segmen Palu dan segmen Saluki. Selain itu, Kota Soroako dilalui Sesar Matano, terutama segmen Pamsoa dan segmen Ballawai. Sementara Kota Poso dilalui sesar naik Tokararu,” kata Mudrik.
Siklus gempa
Sesar Palu-Koro yang membelah Pulau Sulawesi dari Teluk Palu ke Teluk Bone amat aktif bergerak dengan besar pergeseran 41-45 milimeter per tahun (Socquet dkk, 2006). Namun, sejumlah peneliti, misalnya Bellier dkk (2001) mengelompokkan Sesar Palukoro sebagai sesar dengan besar pergeseran tinggi dan kegempaan rendah.
Menurut Mudrik, fenomena itu bisa terjadi karena dua kemungkinan. Pertama, gerakan lempeng di zona sesar bersifat merayap sehingga gaya tektonik tak tertahan jadi gempa. Kedua, gaya tektonik tersimpan, berpotensi jadi gempa besar dengan periode keberulangan lama.
Catatan sejarah gempa bumi terkuat di sesar ini terjadi tahun 1909. Mengutip catatan geolog Belanda, Abendanon, Mudrik menyebut, gempa pada 1909 itu menghancurkan desa-desa di Sulawesi Tengah. Akibat gempa, rumah hancur dan ditinggalkan penghuninya. Bahkan, daun dan buah kelapa muda berjatuhan. Itu menandakan kekuatan gempa. Kemungkinan di atas M 7.
Namun, tradisi tertulis di Nusantara amat kurang karena mayoritas kejadian sebelum era kolonial lebih banyak disampaikan lewat kisah lisan berbentuk mitologi. “Jalan satu-satunya melacak gempa bumi Sulawesi di masa lalu ialah melalui rekaman geologi atau paleoseismologi,” ucap Mudrik.
content
Jika seismologi mempelajari gempa berdasarkan data gempa yang terekam peralatan, paleoseismologi mempelajari gempa menurut bukti geologi dari proses dan gempa terekam di alam (McCalpin, 1996). Itu dilakukan dengan menggali tanah di sejumlah titik demi mengidentifikasi jejak gempa di masa lalu.
Dengan metode paleoseismologi ini, Mudrik menemukan dua jejak gempa besar sebelum 1909 di Segmen Saluki. Dua gempa itu, yakni gempa tahun 1415-1460 (abad ke-15) dan gempa tahun 1285-1390 (abad ke-14).
Ahli gempa dari LIPI, Danny Hilman Natawidjaya, mengatakan, amat sulit mengetahui segmen mana di jalur gempa yang memicu gempa besar dalam waktu dekat. Itu karena keterbatasan pencatatan dan riset kegempaan di Indonesia sehingga sulit diperkirakan waktu keberulangannya.
Ia mencontohkan, banyak pihak memperingatkan ancaman gempa dari zona subduksi Mentawai mendekati siklusnya. “Namun, peringatan itu lebih karena di zona itu banyak datanya. Jadi, tak menutup kemungkinan gempa besar akan terjadi di zona lain yang belum diketahui siklusnya. Bisa di Pulau Jawa atau Sulawesi,” ujarnya.
Padahal, beberapa gempa besar berulang sampai ribuan tahun. “Misalnya, gempa yang menghancurkan Kota Kobe, Jepang, pada 1995. Sebelumnya, 2.000 tahun tak ada gempa besar sehingga diabaikan, lalu ada gempa tiba-tiba,” kata Danny.
Secara nasional, Pusgen menemukan jumlah sesar baru menjadi 295 zona dibanding peta gempa bumi nasional 2010 yang hanya 81 zona. Di antara data baru itu ialah 30 sumber gempa baru yang diidentifikasi di Jawa, dari 4 menjadi 34.
Penambahan data itu signifikan, banyak di antaranya berupa identifikasi panjang sesar. “Bagi riset sesar di Sulawesi, kebanyakan baru tahap mengenali garis sesar di mana. Untuk segmentasi, yang saya lakukan baru Sesar Palu-Koro dan Sesar Matano. Jika sesar lain, baru nama sesar yang kami rapikan, siklusnya awam,” kata Mudrik.
Kini para peneliti seperti berlomba dengan gempa yang tak bisa diprediksi kapan terjadi. Belajar dari berbagai kejadian gempa, jatuhnya korban jiwa hampir semuanya akibat tertimpa bangunan tembok yang tak sesuai standar tahan gempa.
Padahal, rumah-rumah tradisional di Indonesia, termasuk di Sulawesi, berupa bangunan panggung dari kayu, cenderung tahan gempa. Bangunan tembok bisa didesain tahan gempa asalkan dimensi tulangan dan rincian sambungannya benar.
Guru Besar Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung Masyhur Irsyam mengungkapkan, ketangguhan dan mitigasi gempa hanya bisa ditingkatkan melalui riset dasar dan terapan bidang kegempaan terarah. Itu bertujuan menghasilkan kebijakan, standar, dan pedoman perancangan bangunan tahan gempa.(lipi.go.id)