PALU, KabarSelebes.com – Pernyataan Ketua Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) Aminudin Ma’ruf di hadapan Presiden Joko Widodo saat pembukaan Kongres XIX PMII di Palu menjadi pembicaraan khususnya masyarakat Sulteng. Pada acara tersebut Aminuddin Ma’ruf menyebut Tanah Tadulako (Sulawesi Tengah) sebagai pusat radikalisme Islam.
“Pak presiden kami sengaja laksanakan kongres di Tanah Tadolaku bertema meneguhkan konsensus bernegara untuk Indonesia berkeadaban. Katanya tanah ini pusat radikal Islam, di tanah ini pusat dari gerakan menentang NKRI, PMII sengaja membuat tanah ini untuk membuktikan jika PMII tidak sejengkal untuk mereka yang mau mengubah Pancasila dan mengancam NKRI kami tidak mundur. Sebelum kami maju ada Pak Tito yang maju duluan, ada kakak Banser, kalau Pak Tito sudah kalah baru PMII maju,” kata Aminudin seperti dikabarkan Detik.com.
“Kami minta presiden gerakan (radikal) ini tidak bertumbuh di tanah air, kami tidak takut. Kita yang mendirikan republik ini, kita punya sejarah dengan ulama konsensus pancasila ideologi jangan mereka yang baru paham keagamaan yang sok paling benar,” imbuh dia.
Dia mengatakan pemerintah sudah melakukan pembangunan nasional di berbagai daerah. Apalagi, indeks rasio gini terus menurun.
“Satu tahun 2015-2016 rasio gini terus menurun artinya apa pemerataan nasional sedang bekerja, presiden kerja kerja pembangunan infrastruktur perlu dan revolusi mental untuk daya saing itu penting juga Pak Presiden,” tutup dia.
Sayangnya pernyataan Aminuddin itu justru mendapat kecamatan dari sejumlah warga Sulawesi Tengah. Di media sosial mulai berseliweran captur berita yang memuat pernyataan Aminuddin Ma’ruf tersebut. Pernyataan Ketua PB PMII itu dianggap tidak pantas karena di Sulawesi Tengah bukan pusat radikalisme tetapi pusat perguruan Islam terbesar yakni Alkhairaat.
Ketua Pengurus Besar (PB) Alkhairaat, Habib Shaleh bin Muhamad Aldjufri, juga harus angkat bicara menanggapi pernyataan Ketua PB PMII, Aminudin Ma’ruf yang menyebut bahwa Bumi Tadulako sebagai pusatnya gerakan radikal.
Menurut Habib, Bumi Tadulako bukanlah pusat radikalisme dan tak pernah melakukan pembangkangan terhadap NKRI, dari dahulu sampe saat ini.
“Kalau kita cermati gerakan Alkhairaat dari sebelum kemerdekaan sampai Indonesia merdeka, Alkhairaat selalu mengajarkan pendidikan yang tujuan pokoknya adalah cinta NKRI,” katanya seperti dikutip Media.Alkhairaat.id.
Ajaran tersebut, lanjut Habib, sudah ditananmkan kepada Abnaul Alkhairaat dan masyarakat Sulawesi Tengah pada umumnya.
Bahkan, kata dia, Alkhairaat bukan baru kali ini bicara mengenai kecintaannya kepada NKRI. Semasa pendirinya masih hidup, yakni Habib Idrus bin Salim Aljufri, Alkhairaat-lah yang bersedia menjadi garda terdepan membela negara dari ancaman pihak manapun.
“Kemungkinan Ketum PMII kurang informasi tentang gerakan Islam di Sulteng,” kata Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Dapil Sulteng itu.
Sebelumnya, Aminudin Ma’ruf, menyatakan, Bumi Tadulako sebagai pusat gerakan radikal menjadi alasan organisasi tersebut menggelar Kongres-nya yang ke-19.
Pernyataan itu diungkapkan dihadapan Presiden RI dan beberapa menteri, Gubernur Sulteng, Kapolda dan unsur terkait lainnya, pada pembukaan Kongres, di Masjid Agung Darussalam Palu, Selasa (16/05).
Berikut transkrip rekaman pidato yang diperoleh awak media ini:
“Bapak Presiden sengaja kami membuat, melaksanakan kongres kesembilan belas di Tanah Tadulako, di Provinsi Sulawesi Tengah, dengan tema Meneguhkan Konsensus Bernegara untuk Indonesia Berkeadaban. Di tanah ini, katanya, adalah Pusat dari gerakan radikalisme Islam. Bapak Kapolda senyum-senyum nih. Di tanah ini, katanya, adalah pusat dari gerakan menentang Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia sengaja membuat kongres di tanah ini untuk membuktikan bahwa jika hadir PMII, jika ada Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, tidak sejengkal tanahpun di NKRI ini untuk mereka yang intoleran. untuk mereka-mereka yang akan merubah Pancasila sebagai dasar negara”.
Dia juga menyampaikan beberapa hal yang berkaitan dengan kondisi keagamaan di Indonesia. Berikut lanjutan pidatonya:
“Mereka yang baru saja paham keagamaan seakan-seakan paling benar, seakan surga adalah milik mereka padahal kita semua belum mengenal surga. Siapa yang mau mengenal surga duluan silahkan. Belakangan ini sesama anak bangsa saling menghujat satu bangsa beda agama, saling rebut. Satu agama beda aliran ribut juga. Satu aliran beda organisasi, ribut juga. Satu organisasi beda pendapat rebut. Satu pendapat beda pendapatan apalagi”. (ABD)